Mubadalah.id – Sekelompok mahasiswa dan diaspora Indonesia di Sydney menggelar aksi “Menolak Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional”, pada Minggu, 9 November 2025 waktu Sydney.
Melalui siaran daring, mereka menyatakan penolakan tegas terhadap wacana pemerintah Indonesia yang berencana memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
“Pemberian gelar itu adalah upaya menghapus ingatan, menutup luka, dan mengkhianati sejarah.”
Menjadi Luka Kolektif
Bagi generasi muda Indonesia yang kini menempuh studi di luar negeri, sejarah Orde Baru mungkin tidak mereka alami langsung. Namun, jejaknya masih terasa. Rezim 32 tahun yang dijalankan Soeharto meninggalkan tumpukan pelanggaran HAM yang belum pernah diselesaikan.
Dalam petisi tersebut, para mahasiswa dan diaspora menulis dengan tegas: Soeharto bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan 1965–1966. Ratusan ribu orang dibunuh, ditahan tanpa proses hukum, dan keluarganya hidup dalam stigma selama puluhan tahun. Anak dan cucu mereka kehilangan hak pendidikan, pekerjaan, dan penghidupan yang layak karena label “keluarga PKI”.
Belum lagi deretan kekerasan negara di bawah rezimnya: operasi militer di Timor Timur, Aceh, Papua, pembantaian Tanjung Priok, hingga praktik Penembakan Misterius (Petrus) pada 1980-an. Semuanya meninggalkan ribuan korban tanpa keadilan.
“Bagaimana mungkin seorang pelaku pelanggaran HAM berat diangkat menjadi pahlawan nasional?” tulis mereka dalam pernyataannya.
Rezim KKN dan Politik Otoritarian
Bagi banyak orang, Orde Baru identik dengan istilah yang menjadi warisan buruk yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Soeharto membangun kekuasaan yang berkelindan antara militer dan ekonomi keluarga.
Ia dan anak-anaknya menguasai berbagai sektor strategis, mulai dari proyek mobil nasional Timor, industri jalan tol, hingga yayasan-yayasan yang menjadi saluran dana kekuasaan.
Sistem kronisme itu menyuburkan korupsi hingga ke akar birokrasi, menghancurkan tata kelola negara, dan menumbuhkan budaya impunitas yang masih bertahan hingga kini. “Rezim itu mengkerdilkan cita-cita kemerdekaan. Rakyat diajari tunduk, bukan berpikir kritis.”
Kekuasaan Soeharto juga dibangun di atas pengekangan demokrasi. Pers dikontrol ketat, partai politik dilebur paksa menjadi tiga, dan oposisi dibungkam. Aktivis yang berani bersuara diancam, diculik, bahkan dibunuh. Penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi pada 1998 menjadi simbol matinya demokrasi di bawah kekuasaan yang membungkam rakyatnya.
Mendiskriminasi Etnis Tionghoa
Rezim Orde Baru juga meninggalkan jejak rasisme yang terlembaga. Melalui kebijakan asimilasi paksa, Soeharto melarang penggunaan bahasa dan aksara Mandarin di ruang publik, serta membatasi ekspresi budaya Tionghoa.
Kebijakan ini mencapai puncak tragis pada Mei 1998, ketika kerusuhan nasional menyasar warga keturunan Tionghoa. Banyak yang menjadi korban pemerkosaan, pembunuhan, dan penjarahan, sementara negara gagal total memberikan perlindungan. Hingga kini, pelaku kekerasan itu tak pernah mendapat hukuman.
“Rasisme adalah bentuk kekerasan yang diwariskan oleh kekuasaan yang menolak perbedaan. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti menormalkan kejahatan itu.”
Krisis Ekonomi dan Dosa Ekologis
Menjelang akhir kekuasaannya, Soeharto menjerumuskan Indonesia ke dalam salah satu krisis ekonomi terbesar dalam sejarah. Praktik monopoli, utang luar negeri yang membengkak, dan ketergantungan pada modal asing membuat fondasi ekonomi nasional rapuh.
Ketika krisis moneter 1997–1998 datang, jutaan rakyat kehilangan pekerjaan dan harga kebutuhan pokok melambung tak terkendali.
Namun kerusakan yang Soeharto wariskan tidak berhenti pada ekonomi. Rezimnya juga menjadi pelopor deforestasi besar-besaran dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali.
Sejak 1967, jutaan hektar hutan tropis dibuka untuk kepentingan tambang dan perkebunan, diberikan kepada 585 perusahaan swasta dan BUMN — banyak di antaranya milik kroni kekuasaan.
Akibatnya, Indonesia kehilangan lebih dari 30 juta hektar tutupan hutan, menjadi salah satu negara dengan deforestasi tertinggi di dunia. Sungai tercemar, tanah adat hilang, dan masyarakat lokal terpinggirkan. Semua demi proyek “pembangunan” yang hanya memperkaya segelintir elite.
“Warisan ekologis Orde Baru masih kita tanggung hingga kini. Dari kebakaran hutan, banjir, hingga rusaknya ruang hidup masyarakat adat. Semua itu terjadi dari masa Soeharto.”
Melawan Pemutihan Sejarah
Petisi yang Mahasiswa dan Diaspora Indonesia di Sydney suarakan itu adalah bentuk kesadaran moral dan historis. Para penandatangan percaya, bangsa yang sehat adalah bangsa yang jujur terhadap masa lalunya.
“Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional berarti menghapus penderitaan para korban dan mencederai semangat reformasi 1998. Kita tidak boleh memberi tempat bagi pelaku pelanggaran HAM, korupsi, dan perusak demokrasi di panggung kepahlawanan.” []









































