Mubadalah.id – Pesantren selama ini dikenal sebagai tempat untuk menuntut ilmu agama dan membentuk akhlak. Tetapi sayangnya, bagi sebagian santri, tempat yang seharusnya aman itu justru menjadi ruang yang menakutkan, bahkan menimbulkan trauma mendalam. Hal ini terjadi karena beberapa orang yang dianggap panutan justru menjadi pelaku kekerasan, sehingga kepercayaan yang telah dibangun banyak orang tua yang menitipkan anak di pesantren, hilang begitu saja.
Kekerasan seksual di pesantren memang bukan isu baru, hampir setiap tahun kasus kekerasan di pesantren selalu ada. Namun meski begitu, masih banyak pesantren yang enggan berbenah diri, alih-alih memperbaiki sistem lembaganya, justru seringkali korban diancam untuk tidak speak up dan melapor.
Akibatnya suara-suara santri yang menjadi korban kekerasan, seringkali tidak muncul ke publik. Alih-alih mendapatkan keadilan, mereka justru dituntut untuk diam. Tentu saja “atas nama baik lembaga” menjadi salah satu alasannya. Sementara pelaku sering berlindung di balik simbol kesalehan dan jabatan keagamaan. Ia tetap bebas haha hihi mencari korban baru.
Kekerasan di Pesantren itu Nyata
Menurut siaran pers Pojok Penyuluhan Hukum Kemenkumham (9 Oktober 2025), kasus kekerasan seksual di pesantren masih terus bermunculan. Sejak awal tahun, laporan datang dari Tasikmalaya, Jakarta Timur, dan Lombok Tengah. Ironisnya dalam tiga kasus ini, oknum pimpinan pesantren terlibat sebagai pelaku kekerasan.
Ya mereka adalah figur yang selama ini dihormati, para pengasuh, ustadz, atau kiai yang mestinya menjadi panutan dan pelindung, justru menjadi pelaku kekerasan. Mereka menggunakan kekuasaan dan kepercayaan di lingkungan pesantren sebagai alat untuk membungkam korban dan menutupi kejahatannya.
Banyak korban yang memilih diam, bukan karena tidak ingin melawan, tapi karena takut. Takut disalahkan, takut tidak dipercaya, dan takut dicap mencemarkan nama baik pesantren. Budaya ini membuat kekerasan seksual terus berulang, dan korban kehilangan ruang untuk mencari keadilan.
Padahal mestinya, kita perlu jujur bahwa tidak semua pesantren aman bagi santrinya. Struktur yang hierarkis, relasi kuasa yang timpang, dan minimnya pemahaman soal perlindungan korban membuat sistem di pesantren rawan disalahgunakan.
Pesantren seharusnya menjadi tempat tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan. Mengajarkan agama mestinya berarti juga mengajarkan penghormatan terhadap tubuh, martabat, dan hak asasi manusia.
Pesantren Perlu Berbenah Diri
Upaya pencegahan sebenarnya sudah mulai dilakukan. Pada Agustus 2025, DPP Perempuan Bangsa meluncurkan Modul Pesantren Anti Pencabulan di Jakarta. Ketua Umum Dr. Hj. Nihayatul Wafiroh, MA, menegaskan bahwa pencegahan kekerasan di pesantren harus berbasis pada tiga pilar: kewaspadaan dini, tanggung jawab kolektif, dan tindakan konkret di lapangan.
Peluncuran modul ini juga melibatkan tokoh-tokoh seperti KH. Husein Muhammad, KH. Faqihuddin Abdul Qadir, dan Nyai Hj. Badriyah Fayumi, yang menekankan pentingnya pendekatan lintas aspek agama, psikologi, dan pengasuhan.
Sementara Hj. Rustini Murtadho Muhaimin menyoroti perlunya kebijakan perlindungan korban, mengingat data Komnas Perempuan pada tahun 2020 menunjukkan 19 persen kasus kekerasan seksual di Indonesia terjadi di lembaga pendidikan, termasuk pesantren.
Langkah seperti ini perlu diperluas dan dijadikan standar di seluruh pesantren. Setiap lembaga harus memiliki mekanisme pelaporan yang aman, pendampingan korban yang sensitif gender, serta pelatihan rutin bagi pengasuh dan santri untuk mengenali dan mencegah kekerasan seksual.
Dalam nafas yang sama, melansir dari Magdalene.co, setidaknya ada empat alternatif yang perlu pesantren lakukan untuk perbaikan, di antaranya:
Pertama, sanad keilmuan. Dengan semakin pesatnya lembaga pondok pesantren, mestinya harus diiringi juga dengan pengecekan sanad keilmuan yang jelas dari pimpinan pesantren.
Sehingga syarat seseorang terpercaya untuk memipin dan mengelola pesantren, tidak berhenti dari tampilan fisik, seperti menggunakan jubah, berkopiah, mampu berkhotbah di mimbar masjid saja, tetapi sanad keilmuannya pun harus betul-betul di cek.
Menelusuri jejak atau silsilah keilmuan dari kyai dan pesantren mana mereka mengacu sangat penting. Kalau ustaz tersebut menjadi pimpinan rumah tahfidz. Maka harus kita ketahui, ia belajar qira’ah sab’ah di mana dan dari sanad siapa.
Penelusuran silsilah sanad keilmuan ustaz atau kyai adalah untuk memastikan mereka bukan kaleng-kaleng. Bahkan, dalam administrasi pemerintah, kategori sanad keilmuan sang pimpinan pesantren menjadi salah satu syarat wajib dalam mengajukan legalitas pondok pesantren ke Kementerian Agama.
Regulasi
Kedua, menambahkan pasal “Perlindungan Kekerasan Seksual” dalam UU Pesantren. Pemerintah melalui Kementerian Agama mengeluarkan Undang-Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019. Umumnya, substansi pasal-pasal lebih kepada kelembagaan, dan tidak secara khusus memberikan jaminan perlindungan kepada santri.
Padahal kasus kekerasan seksual di pesantren terus terjadi. Karena itu, tugas pemerintah untuk mengkaji kembali Undang-Undang Pesantren agar pro-santri dan mampu memberikan jaminan perlindungan dan keadilan kepada santri perempuan menjadi sesuatu yang penting mereka lakukan.
Hal ini bertujuan agar pesantren tidak hanya memberi aturan kepada kelembagaan secara struktural. Namun, juga memberi aturan kepada kyai, ustaz, para pengajar dan tenaga pendidik yang lain untuk menghormati santri perempuan, dan menahan diri untuk tidak melecehkan.
Ketiga, pendidikan seksual sebagai kurikulum pesantren. Selain memasukan pasal perlindungan santri dari kekerasan seksual, pesantren juga perlu untuk menjadikan pendidikan kesehatan seksualitas (kespro) dan atau pendidikan seks sebagai mata pelajaran wajib di pesantren.
Pendidikan kespro dan pendidikan seks ini penting agar santri memiliki pengetahuan tentang tubuhnya, bagian mana yang tidak boleh orang lain sentuh, siapa yang hanya boleh menyentuh tubuhnya. Lalu bagaimana risiko berhubungan seksual di bawah umur, apa risiko kehamilan, dan pengetahuan tentang haid. Tujuannya supaya santri berdaulat atas tubuhnya sendiri.
Menyusun SOP
Keempat, menyusun SOP kekerasan seksual di pesantren. Berkaca dari banyaknya kasus kekerasan seksual di pesantren, penyusunan panduan ini menjadi penting untuk mempersiapkan diri sedari awal ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, misal kehamilan tidak diinginkan oleh santri.
Penyusunan panduan ini pesantren bisa melakukan kerja sama dengan berbagai pihak terkait, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang konsen pada isu perlindungan perempuan dan anak, pemerintah di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA), Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, aktivis perempuan, akademisi, dan tenaga kesehatan.
Kita tidak bisa menoleransi kekerasan seksual atas nama lembaga atau agama. Kepercayaan orang tua terhadap pesantren harus kita jaga, dan itu hanya bisa jika pesantren berani berbenah diri dan mau menindak para pelaku kekerasan.
Sudah waktunya kita memastikan pesantren benar-benar menjadi ruang aman, tempat setiap santri bisa belajar, tumbuh, dan merasa terlindungi. Karena pesantren bukan tempat yang suci hanya di nama, tapi harus juga suci dalam perilaku dan sistemnya. []











































