Mubadalah.id – Dalam gegap gempita memperingati Hari Pahlawan, kita kerap menyematkan gelar “pahlawan” secara khusus pada para pejuang yang gugur di medan perang. Mereka yang telah mengorbankan nyawa membela tanah air.
Namun, jika kita mau menengok lebih dalam, sejatinya pahlawan tidak hanya hidup dalam buku sejarah. Mereka ada di sekeliling kita, berjuang setiap hari dengan cara mereka sendiri. Mereka adalah para pahlawan yang pengorbanan dan jasanya tak terlihat, namun dampaknya abadi membentuk peradaban.
Tiga sosok perempuan terkategori sebagai pahlawan sejati diungkap oleh Al-Ghazali dalam bab Birrul Walidayn: falwalidaani ashl al-wujud, wa al-mu’allimuna ashl al-kamal, wal ashar ashl al-imtidad (orang tua kandung adalah asal keberadaan, para guru sebagai asal kesempurnaan, dan mertua sebagai asal kelangsungan hidup). Dari ketiga klasifikasi, representasi Perempuan diwakili oleh: ibu kandung, ibu mertua dan ibunyai (guru).
Ibu Kandung; Pahlawan Pertama Tak Tergantikan
Ibu kandung adalah gerbang pertama kita mengenal dunia. Dialah madrasah pertama yang mengajarkan arti kasih sayang tanpa syarat. Perjuangannya dimulai sejak kita masih dalam kandungan, dilanjutkan dengan susah payah merawat di malam malam panjang, yang tidak pernah berhenti mendoakan hingga detik ini.
Allah SWT secara tegas menyandingkan perintah untuk beribadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama ibu. Firman-Nya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada Aku kembalimu.” (QS. Luqman: 14).
Rasulullah SAW turut menegaskan kedudukan istimewa seorang ibu dalam sabdanya. Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku pergauli dengan baik?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Sahabat itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Sahabat itu bertanya kembali, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu.”
Dan pada pertanyaan keempat, barulah beliau menjawab, “Kemudian ayahmu.” (HR. Bukhari & Muslim). Dawuh Al-Ghazali: hak ibu itu tiga kali lebih besar daripada hak ayah karena beratnya beban yang ditanggung selama mengandung, melahirkan, dan menyusui. Sebanyak apapun seorang anak berniat membalas nilai kepahlawanan Ibu kandung, tak akan pernah bisa berhasil.
Ibu Mertua: Pahlawan dalam Perspektif Baru Keluarga
Bagi sebagian orang, kata “mertua” kerap diwarnai stereotip negatif. Padahal, dalam Islam, ibu mertua memiliki posisi teramat mulia. Dialah perantara pasangan hidup kita. Menghormatinya merupakan bentuk cinta dan penghargaan kepada sang suami atau istri. Rasulullah SAW mensignalkan panduan yang indah.
Sebagaimana diriwayatkan hadits tentang tiga orang yang wajib dihormati, di antaranya adalah “Ibu istrimu (ibu mertua).” (HR. Al-Baihaqi). Ibu mertua menempati posisi setara dengan ibu kandung dan guru dalam hal kewajiban menghormatinya. Mengapa? Karena ibu mertua adalah “ibu” dari keluarga baru yang kita bangun.
Beliau tidak sekadar wasilah lahirnya pasangan kita, tetapi keberhasilan rumah tangga kita tidak lepas dari didikan yang telah ia tanamkan pada putra/i nya. Syaikh Dr. Aidh Al-Qarni dalam La Tahzan menekankan pentingnya memperluas lingkaran cinta.
Mencintai ibu mertua adalah wujud memperluas cinta kepada keluarga besar pasangan, yang akan mendatangkan ketenteraman (sakinah) dalam rumah tangga. Mendapatkan Ridha ibu mertua, akan memantik ridha pasangan kemudian ridha Allah SWT. Ia adalah pahlawan yang mengajarkan arti keluarga yang lebih luas, terbuka dan inklusif.
Ibu Nyai: Pahlawan Pembentuk Peradaban
Guru, baik laki laki maupun perempuan, adalah orangtua spiritual kita. Dialah yang membukakan pintu ilmu, menyalakan pelita pengetahuan dalam kegelapan ketidaktahuan. Seorang guru Perempuan dalam level Pendidikan apapun atau ibu nyai, memiliki sentuhan kelembutan yang menyeliputi ketegasan dalam mendidik. Ilmu adalah warisan termulia yang dapat mengangkat derajat seseorang, dan guru adalah perantaranya.
Allah SWT berfirman: “…Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11). Dalam Ta’lim al-Muta’allim, Syaikh Az-Zarnuji menuliskan bahwa kewajiban seorang murid adalah memuliakan gurunya, karena guru adalah penyampai ilmu Allah.
Memuliakan guru berarti memuliakan sumber ilmu. Buya Hamka, seorang ulama dan sastrawan terkemuka Indonesia, pernah berkata, “Guru yang baik bagaikan lilin, yang menghabiskan dirinya sendiri untuk menerangi jalan orang lain.” Ia berjuang di garis depan pembentukan akhlak dan intelektual generasi bangsa. Jasanya membentuk peradaban tidak kalah besarnya dengan para pahlawan bersenjata. Termasuk guru atau ulama Perempuan.
Tokoh tasawuf Syaikh al-Akbar Ibn Arabi mengapresiasi dengan sangat tinggi pada guru guru perempuannya sebagai mutiara terpendam. Ia sebagai master spiritual tertinggi dengan rendah hati mengakui bahwa para perempuan salihahlah yang mengajarinya bahasa cinta sejati.
Dalam Futūḥāt al-Makkiyyah, ia bercerita penuh kekaguman bagaimana Ummu Abdillah binti Maimūn mengajarinya tawadhu’, Fatimah binti Ibn al-Muthanna membimbing kesabaran, dan Syams; perempuan tua yang buta di Sevilla menunjukkan makna keteguhan hati. Baginya, mereka bukan sekadar guru, tetapi manifestasi nyata rahmat Ilahi yang turun melalui jiwa jiwa feminin yang telah tersucikan.
Pemujaan Ibnu Arabi pada guru guru perempuannya ini memberi kita perspektif baru, bahwa ketika kita bisa menghormati ibu kandung, ibu mertua, kemudian ibu nyai, sesungguhnya kita sedang menghormati mata rantai spiritual yang telah menjaga api hikmah turun temurun.
Menghidupkan Semangat Hari Pahlawan dengan Aksi Nyata
Peringatan Hari Pahlawan bukan hanya seremonial. Esensi terpentingnya adalah meneladani nilai kepahlawanan: pengorbanan, ketulusan, dan perjuangan tanpa henti. Nilai nilai itu hidup dan berdenyut dalam diri Ibu Kandung, Ibu Mertua, dan Ibu nyai (guru). Mereka juga heroes in our life yang sesungguhnya.
Maka, bentuk penghargaan terbaik kita adalah: pertama, kepada ibu kandung dengan menjaga birrul walidain, mendoakannya setiap saat, dan menjaga silaturahmi. Kedua, kepada ibu mertua dengan memperlakukannya seperti ibu sendiri, menghormati nasihatnya, dan senantiasa menyambung tali kasih sayang. Ketiga, kepada ibu nyai d engan memuliakannya, mengamalkan ilmu darinya, dan menjadi pribadi bermanfaat bagi sesama.
Dengan menghormati dan membalas jasa ketiga pahlawan di kehidupan terdekat kita ini, maka tidak hanya memaknai Hari Pahlawan dengan lebih aplikatif, tetapi juga membangun fondasi keluarga, masyarakat, dan bangsa yang lebih kuat, berakhlak, dan penuh berkah.
Selamat Hari Pahlawan untuk semua pahlawan tanpa tanda jasa, terutama kepada para Ibu. Kepada Ibu kandung yang mengajarkan cinta tanpa syarat sebagai dasar iman, kepada ibu mertua yang telah melatih kita menerima perbedaan sebagai jalan menuju kesatuan, juga kepada ibu nyai yang membukakan pintu ilmu dan menghubungkan kita dengan Yang Maha Tahu. []











































