Mubadalah.id – Selama ini, banyak orang menganggap pesantren adalag tempat untuk mencetak lulusan yang ahli agama. Padahal, menurutku, anggapan itu tidak menggambarkan kenyataan sebenarnya.
Pasalnya, pesantren bukan hanya tempat studi keagamaan, tetapi ruang pendidikan yang membentuk santri dengan berbagai disiplin ilmu, mulai dari karakter, etika, kedalaman spiritual, pola pikir, hingga kemampuan berinteraksi dengan masyarakat.
Bahkan, pesantren mampu memadukan pendidikan Islam dengan nilai-nilai keindonesiaan. Ia melatih ketekunan, kemandirian, dan kemampuan mengatur diri. Ia mengajarkan bahwa ilmu bukan sesuatu yang datang instan, melainkan hasil dari perjuangan yang kadang melelahkan.
Di banyak pesantren, santri harus bangun sebelum subuh, menyapu halaman, mengaji, belajar kitab, mengikuti sekolah formal, lalu kembali ke pengajian malam.
Ritme yang padat ini bukan tekanan dari pesantren, melainkan pembiasaan untuk hidup disiplin, tertib dan bertanggung jawab.
Dari proses inilah banyak pesantren mampu melahirkan santri yang siap menjawab berbagai tantangan di masyarakat, terlibat dalam kerja kemanusiaan, pendidikan, advokasi, hingga pembangunan desa.
Santri mampu menjadi jembatan antara ajaran agama dan realitas sosial. Mereka membawa nilai-nilai keadilan, toleransi, dan moderasi beragama ke masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di tengah masyarakat dapat terselesaikan berkat kehadiran para santri lulusan pesantren yang mampu menjadi penengah.
Bahkan, komunitas-komunitas marginal, penyandang disabilitas, hingga minoritas agama juga mendapat ruang yang lebih layak karena advokasi dan pendampingan yang dilakukan para alumni pesantren.
Hal ini menunjukkan bahwa pesantren bukan lembaga pendidikan yang tertinggal, tetapi institusi yang hidup dan terus bergerak.
Membaca Pesantren dengan Kacamata Kritis
Di tengah seluruh hal baik yang muncul dari pesantren, kita juga perlu membaca realitasnya secara kritis. Ada beberapa tantangan yang tak boleh diabaikan.
Pertama, dikotomi pendidikan pesantren dan sekolah umum masih kuat. Pesantren masih sering dipandang kelas dua dalam sistem pendidikan nasional.
Padahal, banyak inovasi lahir dari pesantren di antarnya kurikulum integratif, penguatan literasi, pengembangan teknologi, hingga pelatihan kewirausahaan.
Kedua, isu kekerasan di beberapa pesantren harus ditangani tanpa kompromi. Kekerasan bukan ciri pesantren. Melainkan ia sering berasal dari penyalahgunaan kekuasaan atau lemahnya pengawasan.
Karena itu, kritik terhadap kasus kekerasan di pesantren bukanlah upaya meruntuhkan citra pesantren. Kritik justru diperlukan agar pesantren berani membenahi diri, memperkuat pengawasan, dan tetap relevan dengan tuntutan zaman.
Ketiga, pesantren harus makin berani masuk ke isu-isu kontemporer seperti teknologi, lingkungan, inklusi disabilitas, literasi digital, dan ketahanan sosial.
Santri hari ini bukan hanya calon ustaz. Mereka calon pemimpin, peneliti, wirausahawan, inovator, dan pembaharu.
Kebanggaan Menjadi Santri
Bagi saya, menjadi santri adalah kebanggaan yang melekat seumur hidup. Dari pesantren, saya belajar hidup disiplin, merasakan kuatnya solidaritas, dan tumbuh bersama teman-teman dalam segala keterbatasan. Semua pengalaman itu membentuk cara pandang dan karakter saya hari ini.
Namun kebanggaan itu tidak boleh berhenti pada kenangan. Ia harus diiringi tanggung jawab untuk terus belajar, menjaga kejujuran dan kasih sayang, mengabdi kepada masyarakat, dan memastikan pesantren tetap menjadi ruang yang aman serta inklusif. Santri memang bagian dari sejarah panjang bangsa, tetapi mereka juga penentu masa depannya.
Karena itu, pesantren harus terus bergerak maju sebagai ruang yang melahirkan generasi saleh, berpengetahuan kuat, tanggap terhadap perubahan, dan terbuka pada keragaman.
Sebab, pesantren adalah tempat pembentukan peradaban, dan santri adalah penjaga sekaligus pewaris yang bertugas merawatnya. []











































