Mubadalah.id – Umi Hanisah Abdullah, Pengasuh Dayah Diniyah Darussalam, Aceh Barat menegaskan bahwa Aceh Barat membutuhkan transisi energi yang nyata, bukan sekadar wacana. Sejak 2016, dayah yang ia pimpin telah merintis pemanfaatan energi surya sebagai alternatif energi bersih. Namun, perkembangan itu masih terbatas.
Hal itu ia ungkapkan dalam Tadarus Subuh ke-173 bertema “Kerusakan Ekologi: Tanggung Jawab Negara, Agama, dan Komunitas” yang digelar pada Minggu, 7 Desember 2025.
“Di daerah kita sudah ada lampu tenaga surya, tetapi belum masuk ke rumah-rumah warga. Baru empat titik terpasang, itu pun hanya di luar ruangan,” ujarnya.
Di masjid-masjid Aceh Barat, panel surya sudah mulai dikenalkan, tetapi baru sebatas di depan halaman, belum sampai menerangi bangunan utama.
Ia berharap tahun 2026 menjadi tahun akselerasi. Bersama para mitra, sekolah energi bersih di dayah, serta dukungan masyarakat, panel surya dan teknologi matahari lainnya dapat diperluas ke lebih banyak desa, rumah warga, dan fasilitas pendidikan.
Pesantren sebagai Garda Terdepan Transisi Energi
Menurut Umi Hanisah, pesantren seharusnya menjadi prioritas dalam pengembangan energi bersih. Banyak pesantren kecil dan TPQ yang kesulitan membayar listrik.
“Anak-anak belajar gratis, dan orang tua pun sering tidak mampu ketika dimintai iuran. Santri non-mukim sampai 200 orang, tapi pemasukan tidak cukup. Listrik itu jadi beban,” jelasnya.
Beberapa pesantren memang telah memasang panel surya, tetapi hasilnya baru dinikmati di halaman luar masjid atau ruang terbuka pesantren, belum sampai menerangi ruang-ruang belajar.
Karena itu, Umi Hanisah menekankan perlunya kebijakan pemerintah yang berpihak pada lembaga pendidikan akar rumput yang selama ini menjadi pusat pembinaan masyarakat.
Tenaga air dan angin dinilai tidak stabil untuk wilayah Aceh Barat maka solusinya kembali pada matahari. Oleh karena itu, jaringan ulama perempuan Aceh, terutama melalui dukungan KUPI daerah, kini menyebarkan dakwah energi bersih hingga ke MPU, desa-desa, kampung, dan komunitas masyarakat.
“Ini jalan dakwah kami. Energi bersih bukan sekadar teknologi, tetapi bagian dari menjaga amanah Allah,” tegasnya.
Bumi Adalah Masjid: Fondasi Keagamaan Dakwah Ekologi
Dari perspektif keagamaan, argumen Umi Hanisah sangat jelas dan tegas. Hadis Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa bumi seluruhnya adalah masjid, tempat suci yang harus kita jaga. Merusak alam berarti merusak ruang ibadah manusia.
“Dunia ini adalah masjid. Tempat suci. Tidak pantas dirusak,” ujarnya.
Ia menyesalkan bahwa banyak kebijakan pemerintah, yang seharusnya menjaga bumi, justru membiarkan kerusakan atas nama pembangunan dan agama. Aceh yang kita sebut “Bumi Syariat” justru terseret dalam kontradiksi. Bahkan ketika ayat-ayat agama mereka gunakan untuk membenarkan eksploitasi.
“Bila kita membuka mata hati, kita melihat betapa sedikit keadilan yang kita tegakkan. Yang ada justru kemunafikan pemerintah kepada rakyat atas nama agama,” katanya.
Prinsip Islam dalam Peralihan Energi
Bagi Umi Hanisah, dakwah energi bersih bukan sekadar ikhtiar teknis untuk mencari sumber listrik alternatif, tetapi amanah spiritual yang melekat pada peran manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Ia menjelaskan bahwa ajaran Islam memberi fondasi kokoh bagi kesadaran ekologis. Menyeru pada kebaikan dan mengingatkan manusia agar menjaga bumi, menurutnya, adalah kewajiban ulama yang mereka dengar ataupun tidak.
“Al-Qur’an sendiri menegaskan larangan merusak alam, sementara penggunaan energi kotor selama ini telah mencemari udara, air, dan tanah tempat masyarakat bergantung hidup,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa pemborosan energi adalah bentuk kelalaian moral. “Islam mengecam sikap berlebih-lebihan dalam memanfaatkan sumber daya, termasuk listrik dan air, yang kian hari semakin terbatas,” jelasnya.
Karena itu, pemanfaatan energi bersih seperti matahari, angin, dan panas bumi adalah bentuk syukur atas nikmat Tuhan yang tersedia melimpah namun belum kita manfaatkan optimal.
Umi Hanisah mengingatkan bahwa masyarakat Aceh kini merasakan langsung dampak buruk energi fosil: panas yang kian menyengat, perubahan cuaca ekstrem, hingga pencemaran yang menggerogoti kualitas hidup.
Semua itu, katanya, adalah tanda betapa rusaknya bumi akibat ulah manusia. Melalui dakwahnya, ia ingin mengembalikan kesadaran umat bahwa menjaga lingkungan adalah ibadah, dan bergerak menuju energi terbarukan adalah bagian dari upaya memelihara amanah Ilahi.
“Panas yang kita rasakan sekarang bukan kebetulan. Itu tanda bumi rusak. Ulah manusia,” tegasnya.
Dari Dayah ke Seluruh Aceh: Dakwah yang Tidak Akan Berhenti
Meski suara ulama perempuan kerap tidak didengar oleh pengambil kebijakan, Umi Hanisah menegaskan bahwa tugas dakwah tidak boleh berhenti.
Ke manapun ia pergi, ke desa, masjid, ruang taklim, dayah, hingga forum-forum digital, pesannya sama yaitu bumi harus kita jaga, dan energi bersih adalah jalan masa depan.
“Inilah dakwah kita sebagai khalifah di bumi. Terus menyampaikan, terus menjaga, terus mengajak masyarakat,” tutupnya. []









































