Mubadalah.id – Dalam situasi bencana banjir bandang dan longsong yang berulang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, pemerintah, para konten kreator, komika, dan masyarakat sipil menggelontorkan anggaran besar untuk mengirim bantuan.
Namun di balik hiruk-pikuk penanggulangan, ada pertanyaan, sebenarnya siapa yang harus membayar kerusakan lingkungan yang memicu bencana di Aceh dan Sumatera ini?
Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, menyodorkan jawabannya yaitu selalu rakyat, bukan korporasi perusak lingkungan, bukan pemilik modal, bukan para penikmat keuntungan dari ekspansi tambang dan perkebunan.
“Selama ini semua biaya penanggulangan bencana seharusnya wajib ditanggung oleh negara,” ujar Uli dalam Tadarus Subuh ke-173.
WALHI, jelasnya, pernah menghitung bahwa dalam kurun 2017–2022 saja ada 101 triliun rupiah uang negara yang dipakai untuk penanganan bencana. Rentang lima tahun yang bukan hanya menandai intensitas kejadian yang meningkat, tetapi juga kegagalan negara menjadikan ekosistem sebagai prioritas pembangunan.
“Uang ini berasal dari pajak rakyat. Artinya, biaya kerusakan lingkungan ditanggung rakyat, padahal keuntungan eksploitasi dinikmati korporasi,” tegasnya.
Dalam kacamata WALHI, skema ini bukan hanya tidak adil, tetapi melanggengkan ketimpangan struktural. Negara terus menalangi biaya kerusakan, sementara korporasi terus memperlebar keuntungan tanpa tanggung jawab ekologis.
Rakyat Menjadi Korban Berlapis, Terutama Perempuan
Di lapangan, bencana tidak hanya menghancurkan rumah, jembatan, dan ladang. Ia juga menghancurkan kehidupan. Dan bagi perempuan, menurut Uli, dampaknya berlipat-lipat.
Ketika air menghanyutkan rumah dan memutus jalan desa, perempuan harus menghadapi situasi paling sulit, yaitu akses air bersih menghilang, pemenuhan kebutuhan dasar semakin terbatas, anak-anak kehilangan tempat berlindung, dan trauma membekas kuat di tubuh serta ingatan mereka.
“Korban bencana mengalami penderitaan berlapis. Perempuan, khususnya, selalu berada di garis paling rentan,” ujarnya.
Dan ironi itu masih dilipatgandakan oleh lambannya penanggulangan. Penetapan bencana nasional yang memungkinkan percepatan pemulihan sering terhambat oleh alasan administratif. Sementara untuk persoalan perizinan tambang dan ekspansi perkebunan, negara justru bergerak cepat dan longgar.
Ketika Undang-Undang Tajam ke Rakyat, Tumpul ke Korporasi
Dalam wawasan Uli, persoalan terbesar bukan kurangnya data atau kurangnya aturan. Justru sebaliknya: undang-undang sudah sangat jelas, aturan reklamasi dan pemulihan ekosistem sudah tertulis dengan tegas. Namun penegakan hukum itulah yang macet.
“Terhadap para perusak lingkungan, undang-undang tidak pernah ditegakkan,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa perusahaan yang mendapatkan izin sebenarnya wajib melakukan reklamasi sebelum membuka blok eksploitasi baru. Tetapi di lapangan, mekanisme itu tidak pernah berjalan. Perusahaan membuka blok demi blok tanpa memulihkan ruang hidup yang sebelumnya mereka rusak. Tidak ada pengawasan ketat, tidak ada sanksi tegas, tidak ada pembekuan izin.
Yang ada hanyalah tata kelola yang membiarkan korporasi menikmati keuntungan tanpa risiko, sementara masyarakat menanggung seluruh dampaknya ketika tanah runtuh, sungai meluap, atau banjir bandang menerjang desa.
Bencana Akan Terus Terjadi, Jika Negara Tidak Mengubah Sikap
Bagi WALHI, semua peristiwa yang terjadi belakangan bukan kecelakaan alam. Ia adalah hasil dari sebuah sistem yang dibangun oleh negara. Perizinan yang longgar, penegakan hukum yang lemah, dan pembangunan yang bertumpu pada eksploitasi.
“Jika ini tidak diubah, korban akan terus bertambah, bukan hanya di tiga provinsi, tetapi di seluruh Indonesia,” jelas Uli.
Ia menegaskan bahwa perubahan struktural bukan hanya soal kebijakan baru, tetapi keberanian politik. Keberanian negara untuk menagih pertanggungjawaban korporasi yang selama ini menikmati hasil pembabatan hutan. Juga termasuk keberanian meninjau ulang seluruh izin di kawasan rawan bencana, serta keberanian memasukkan keselamatan rakyat sebagai dasar pembangunan.
“Korporasi yang selama ini mendapat keuntungan paling besar harus ditagih tanggung jawabnya. Jika tidak, mereka tidak akan pernah berubah. Dan kitalah yang terus menjadi korban,” tegasnya.
Berpihak pada Rakyat, Bukan Pemodal
Uli menutup dengan satu penjelasan yang menjadi inti dari seluruh analisis WALHI bahwa keselamatan publik bukanlah dampak sampingan dari pembangunan ia adalah fondasi pembangunan itu sendiri.
Jika negara terus mengelola hutan, sungai, dan bentang alam hanya berdasarkan potensi keuntungan ekonomi. Maka bencana akan selalu datang dan selalu memukul rakyat paling miskin dan paling rentan.
Indonesia, khususnya Sumatera, telah memasuki era bencana berulang. Dan setiap bencana yang terjadi bukan hanya memicu kerugian materi, tetapi mengikis harapan masyarakat terhadap negara.
Peringatan itu kini ia sampaikan dengan sangat tegas. “Tanpa koreksi arah kebijakan, negara akan terus membiayai kerusakan, sementara korporasi akan terus menikmati keuntungan. Dan dalam situasi itu, rakyat dari Aceh Tamiang sampai Pasaman akan selalu menjadi pihak yang paling menderita,” tutupnya.











































