Mubadalah.id – Ketua Majelis Musyawarah (MM) KUPI, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, menyampaikan bahwa Halaqah Kubra tahun 2025 ini menjadi titik penting dari siklus gerakan yang sudah berjalan hampir satu dekade.
Hal itu ia sampaikan dalam Halaqah Kubra yang diselenggarakan di UIN Sunan Kalijaga, pada 12–14 Desember 2025.
“Halaqah Kubra ini adalah ruang untuk mengukur langkah, mengingat arah, dan memastikan kita tidak keluar dari visi besar KUPI tentang peradaban Islam yang adil bagi semua,” kata Nyai Badriyah.
Selain itu, pemilihan Yogyakarta sebagai tuan rumah bukan kebetulan. Di hadapan ratusan peserta, Nyai Badriyah secara terbuka menyampaikan bahwa pilihan itu berkaitan dengan nilai dan sejarah yang menjadi bagian dari DNA gerakan.
“Yogyakarta ini kita pilih bukan sekadar lokasi. Ada pemimpin yang menjadi pasangan mubadalah, ada jejak perjuangan, ada sejarah yang menyambung dengan nilai-nilai KUPI,” tegasnya.
Ia menyebut Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi Hasan, sebagai salah satu figur penting yang sejak lama mendukung kerja intelektual KUPI.
Bahkan, dalam sambutannya, ia membagikan kisah bagaimana istri sang rektor, Prof. Euis, ikut mengantar tamu, hingga menyetir mobil untuk para pengisi acara.
“Kami disopiri langsung oleh Prof. Euis. Beliau bukan hanya mendukung di balik layar, tetapi hadir dengan seluruh dirinya. Ini contoh rumah akademik yang hidup dalam nilai kesetaraan,” jelasnya.
Kisah-kisah semacam ini, kata Badriyah, adalah napas kecil yang memberi tenaga besar bagi gerakan ulama perempuan.
Kerja Kolektif: “Inilah Wajah KUPI”
Nyai Badriyah menegaskan bahwa Halaqah Kubra terlaksana dalam waktu persiapan yang sangat singkat, hanya satu bulan. Namun melalui kerja kolektif, acara dapat digelar dengan dukungan penuh UIN Sunan Kalijaga.
“Kalau kami datang setahun lalu, mungkin lebih besar. Tapi satu bulan saja UIN Yogyakarta memberikan yang terbaik,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa mekanisme kerja KUPI memang berbeda dari organisasi formal. Tidak ada dana besar, tidak ada struktur hirarkis yang kaku. Gerakan bekerja dari bawah, melalui komitmen, jaringan, dan gotong royong antar lembaga penyangga.
“KUPI adalah gerakan intelektual, sosial, spiritual, dan kultural. Di sini orang bergerak bukan karena perintah, tetapi karena panggilan amanah,” katanya.
Ia mengapresiasi kerja panitia SC dan OC yang disebutnya bekerja dalam ritme panjang dan ritme pendek secara bersamaan. Banyak peserta yang hadir dengan biaya sendiri, sebuah fakta yang mencerminkan loyalitas jaringan KUPI di seluruh Indonesia.
Menyebut Nama-Nama yang Menjadi Pilar Gerakan
Dalam pemaparannya, Nyai Badriyah menyebut hampir seluruh tokoh yang hadir yaitu Dewan Pertimbangan, Majelis Musyawarah, para aktivis, ulama perempuan dari Aceh hingga Merauke.
Namun ia menegaskan bahwa penyebutan nama bukan semata formalitas, melainkan bentuk penghormatan terhadap kerja-kerja panjang yang sering tak terlihat.
“Kita punya banyak tokoh yang bekerja dalam diam. Ada yang hadir tetapi tidak selalu menampakkan diri,” katanya merujuk pada Bang Helmi Aly Yafie. “Itu juga bagian dari etika gerakan.”
Ia bahkan menyebut tokoh seperti Ibu Julia Suryakusuma yang tidak dapat hadir karena sakit, namun tetap bergabung secara intelektual. Bagi KUPI, kata Nyai Badriyah, simbol-simbol keterhubungan semacam ini adalah energi sosial yang memperkuat gerakan. []










































