Mubadalah.id – Nissa Saadah Wargadipura, pendiri Pesantren Ath-Thaariq di Garut, menyoroti minimnya praktik nyata pemulihan ekologi meski wacana lingkungan terus berkembang dari tahun ke tahun. Ia menilai, gerakan lingkungan kerap berhenti pada narasi dan belum terintegrasi secara luas dalam kerja-kerja sosial, ekonomi, dan keagamaan.
Nissa mengajak publik melakukan kilas balik dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama hingga KUPI kedua untuk melihat bagaimana isu pemulihan ekologi sebenarnya telah lama dibicarakan. Namun, menurutnya, praktik di lapangan masih sangat terbatas.
“Pemulihan ekologi dari tahun ke tahun itu wacananya berkembang, tetapi yang benar-benar bergerak praktiknya sangat sedikit,” katanya, dalam Dialog Publik di Halaqah Kubra KUPI yang diselenggarakan di UIN Sunan Kalijaga, pada 12 Desember 2025.
Ia mencontohkan berbagai wilayah terdampak seperti Aceh, Sumatera, dan Kalimantan yang hingga kini masih menghadapi persoalan lingkungan serius. Dalam situasi krisis, kata Nissa, respons yang muncul sering kali bersifat darurat dan tidak menyentuh akar persoalan.
“Saya pernah terlibat dalam pengumpulan donasi, tetapi bantuan yang datang belum tentu menjawab kebutuhan paling mendasar,” katanya.
Nissa juga menyoroti pentingnya kepemimpinan dan jaringan KUPI dalam menggerakkan perubahan. Menurutnya, para pemimpin dan anggota jaringan KUPI memiliki potensi besar untuk bergerak lebih luas jika mampu membangun integrasi lintas isu.
“Kita punya ruang besar untuk mengintegrasikan isu ekologi dengan ekonomi, toleransi, dan nilai-nilai kemanusiaan,” ujarnya.
Ia mencontohkan kondisi di Sibolga, di mana bantuan yang datang hanya berupa mie instan. Sementara warga justru membutuhkan beras. Kondisi tersebut, menurut Nissa, berdampak pada menurunnya daya tahan tubuh masyarakat dan menunjukkan lemahnya sensitivitas terhadap kebutuhan riil korban.
Pemulihan Ekologi
Lebih lanjut, Nissa menekankan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah-langkah sederhana, salah satunya melalui pengelolaan sampah. Di Pesantren Ath-Thaariq di Garut, isu sampah dijadikan pintu masuk gerakan pemulihan ekologi.
“Sampah itu seperti efek domino. Ketika kita mulai dari satu titik, dampaknya bisa menyebar ke mana-mana,” tegasnya.
Ia menceritakan pengalamannya bersama komunitas pesantren yang secara rutin mengumpulkan sampah plastik dan memilah sampah organik agar lingkungan terbebas dari plastik. Dari situ, mereka mulai memikirkan cara agar sampah organik memiliki nilai guna dan mendukung keberlanjutan lingkungan.
Menurut Nissa, saat ini masyarakat sedang berada pada fase perubahan yang menentukan. Ia menegaskan bahwa pemulihan ekologi harus kita jalankan secara konsisten dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. []










































