Dalam Islam, duduk perkara kasus kekerasan seksual sangatlah berbeda dengan kasus perzinahan. Hal ini disebabkan ada unsur kezaliman dan upaya-upaya pemaksaaan (ikrah) yang meliputi aksi-aksi kekerasan seksual. Dalam kasus perzinahan, kita tidak menjumpai adanya unsur pemaksaan sehingga masing-masing pihak yang terlibat bergerak sebagai subjek atau pelaku.
Sedangkan dalam kasus kekerasan seksual, terdapat pemaksaan atau ketiadaan persetujuan sehingga interaksi antar pihak tidak setara. Ada yang bertindak sebagai pelaku dengan intensi memaksa (mukrih) dan berbuat aniaya (zalim) dan pihak yang mendapatkan paksaan (mukrah) dan dianaya (mazlum) yang kemudian kita sebut sebagai korban.
Tidak ada aturan spesifik gender mana yang menjadi pelaku atau korban. Hal ini berarti bahwa siapapun dapat berpotensi menjadi pelaku ataupun korban. Baik pelaku dan korban berada dalam relasi pernikahan maupun bukan pernikahan.
Fikih sendiri belum membagi secara rigid apa saja bentuk-bentuk dari kekerasan seksual ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Komnas Perempuan. Pembahasan kekerasan seksual dalam Islam terbagi secara juz’iyah—tidak terintegrasi menjadi satu bab pembahasan—pada kasus-kasus yang ditemui di setiap zaman. Misalnya saja kasus-kasus pemerkosaan atau pemaksaan perkawinan yang jamak ditemui di era Islam klasik sehingga terdapat pembicaraan hukum mengenai fenomena-fenomena tersebut.
Seiring berkembangnya zaman, kita harus mengakui bahwa terdapat kasus-kasus kekerasan seksual baru yang harus di-adress oleh fikih. Seperti perdagangan manusia, kawin-cerai gantung, mairil, nyampet, perbudakan seks atas nama tarekat, dan lain sebagainya. Namun, meskipun belum ada bab khusus yang membahas perihal kekerasan seksual, bentuk, dan hukumnya, kita bisa melacak isyarat bentuk-bentuk kekerasan seksual dari hadis yang menjelaskan bentuk-bentuk zina berikut.
“Dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata bahwa aku tidak melihat sesuatu yang lebih mirip dengan ‘kesalahan kecil’ berdasar hadits yang tertuang pada riwayat Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda, ‘Allah telah menakdirkan anak Adam sebagian dari zina yang akan dialaminya, bukan mustahil. Zina kedua mata adalah melihat. Zina mulut adalah berkata. Zina hati adalah berharap dan berkeinginan. Sedangkan alat kelamin itu membuktikannya atau mendustakannya,’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud).
Menilik hadis ini, kekerasan seksual sendiri juga dapat dilakukan melalui berbagai anggota tubuh manusia. Artinya, jika zina saja dapat ditempuh melalui berbagai cara, begitu juga dengan kekerasan seksual yang sangat memungkinkan terjadi melalui pandangan, tindakan, dan ucapan dengan orientasi seksual sehingga mampu melukai fisik, psikis, maupun mental korban. Untuk itu, kita perlu untuk mengategorikan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam kerangka fikih agar kita dapat kembali kepada dasar syariah dalam menetapkan ta’zir (sanksi) yang menimbang kepada besar kecilnya jenjang kesalahan.
Penentuan hukum atas kasus-kasus seperti ini sangat urgen dibahas mengingat pada realitanya umat Islam juga menjadi korban sekaligus memiliki oknum yang bertindak sebagai pelaku. Terlebih, dampak dari kekerasan seksual ini membahayakan korban dalam berbagai aspek, baik berupa trauma psikologisnya, kerusakan fisiknya, kerugian harta-benda, hingga keamanan nyawanya.
Tentu saja, secara fakta, kekerasan seksual telah melanggar maqasidh syari’ah di mana muhafazah atau prinsip penjagaan menjadi dasar dari tujuan-tujuan kemasalahatan yang terdapat dalam syari’at. Oleh Imam Asy-Syathibi, ia membagu kebutuhan dasar manusia (dharuriyat) yang menjadi tujuan utama dari Syariat Islam ke dalam lima bentuk, yakni: 1) Memelihara agama (al-muhafadhah ‘ala al-din); 2) Memelihara jiwa (al-muhafadhah ‘ala al-nafs); 3) Memelihara akal pikiran (al-muhafadhah ‘ala al-‘aql); 4) Memelihara keturunan (al-muhafadhah ‘ala al-nasab); dan 5) Memelihara harta/ properti (al-muhafadhah ‘ala al-mal).
Menilik dampak yang harus korban derita, tentu kekerasan seksual telah melanggar tujuan-tujuan pemeliharaan syariat yang telah disebutkan oleh Imam Asy-Syathibi. Untuk itu, bagi penulis, saat ini sangat urgen kiranya ulama fikih dan ulama perempuan dapat duduk bersama berijtihad melakukan kategorisasi atau pembukuan baru mengenai problematika kekerasan seksual dalam kerangka hukum Islam yang tentu dengan menempuh metodologi-metodologi pengambilan hukum yang telah disepakati oleh standar keilmuan Islam.
Dalam melihat kasus kekerasan seksual sendiri, Islam pada dasarnya juga menyatakan keberpihakannya kepada korban atau penyintas kekerasan seksual. Keberpihakan tersebut setidaknya terdapat pada dua tempat. Pertama, Islam tidak memberikan hukuman kepada korban dan tidak memerintahkan secara khusus kepada pelaku untuk menikah dengan korban. Sebuah hadis dari Ali ibn Hajar berbunyi:
“Dari Mu’ammar ibn Sulaimân al-Raqâ, dari Al-Hajjâj ibn Arthah, dari Abd al-Jabbâr ibn Wâil ibn Hajar, dari bapaknya Al Jabbâr, ia berkata: Suatu ketika ada seorang perempuan telah dipaksa (dilecehkan/diperkosa) pada masa Rasulullah SAW, lalu Rasul membebaskan had padanya namun beliau mendirikan had bagi orang yang telah memaksanya (melecehkan/memperkosanya).”
Sanad hadis ini tidak muttashil karena ada hadits lain yang menyebut bahwa Abd al-Jabbâr ibn Wâil ibn Hajar tidak mendengar hadits ini dari bapaknya dan tidak ada keterangan bahwa yang disebut bapaknya Abdu al-Jabbar memiliki anak setelah kematiannya.
Kedua, Islam berkomitmen tidak menyalahkan korban. Jamak kita mendapati orang baik awam maupun ustaz atau pemuka agama yang justru mempermasalahkan penampilan atau perilaku korban yang dianggap memancing pelaku melakukan kekerasan seksual. Dalam ceramahnya, Habib Ali Al-Jufri menyatakan bahwa kesalahan bukanlah pembenaran atas kesalahan yang lain.
Secara spesifik Habib Ali menjelaskan, meskipun dalam Islam sendiri terdapat perintah bahwa perempuan harus menutup auratnya (dalam definisi luasnya adalah menjaga adabnya ketika bergaul dengan siapa saja), perempuan yang memilih untuk tidak menutup aurat atau berperilaku menggoda tidak bisa dijadikan pembenaran atas kasus kekerasan seksual yang dilakukan terhadapnya. Hal ini semata karena kekerasan seksual dilakukan oleh sebab bobroknya moral perilaku dan ketidakmampuan menahan diri dari pelaku.
Pernyataan Habib Ali ini tentu juga tidak mendukung untuk perempuan/laki-laki dapat berlaku atau berpenampilan seenaknya. Islam telah menetapkan syariat mengenai hal-hal ini. Kewajiban keta’atan terhadap aturan-aturan ini mutlak menjadi tanggung jawab individu. Hikmah yang dapat kita ambil adalah, bahwa bagaimanapun penampilan seseorang, bagaimanapun perilaku seseorang, tidak lantas menjadikan kita boleh untuk berbuat aniaya terhadapnya. Hal ini dikarenakan Islam adalah agama yang sangat menjunjung harkat dan martabat manusia. (Bersambung)