“Al-Ummu Madrasah”(ibu adalah sekolah) adalah benar adanya. Sekolah ini tak mengenal waktu, yang sangat berpengaruh dalam membentuk karakter seorang anak.
Sayangnya, keberadaan ibu seringkali terlupakan dalam catatan sejarah saat anak mencapai kesuksesan. Saat ini, kesuksesan anak biasanya lebih dihubungkan dengan sekolah formalnya. Padahal, di “sekolah ibu”-lah anak belajar nilai-nilai kehidupan yang membentuk pribadinya hingga ia sukses.
Tak Banyak Mengungkap
Sejarah kesuksesan dan kepahlawanan para Nabi dan salafussalih masa lalu pun tak banyak mengungkap sumbangsih ibu. Kesuksesan dan kepahlawanan lebih dikaitkan dengan keberhasilan tokoh menghadapi lawan dengan keteguhan iman.
Peran sahabat dan pendukung jauh lebih menonjol daripada peran ibu. Inilah fakta penulisan sejarah (historiografi) yang kita terima saat ini. Histoiografi yang kurang memberi ruang bagi keberadaan dan sumbangsih ibu dalam mengantarkan anaknya menjadi tokoh besar.
Penjelasan sumbangsih ibu sangat penting dalam pengungkapan sejarah sukses seorang anak. Selain karena sumbangsih itu nyata adanya, pengungkapannya akan menghadirkan nilai-nilai luhur yang bisa menjadi inspirasi umat manusia yang selalu mencari sandaran nilai dalam hidupnya. Bagi para ibu, pengungkapan itu akan menjadi inspirasi dan mauidhah hasanah. Bagi para anak pengungkapan itu menjadi pengingat jasa ibu dan pendorong untuk berbakti.
Dari sejarah masa lalu, Hajar, Aisyah dan Yuhanidz, serta Maryam adalah sedikit contoh yang bisa diangkat. Keberadaan mereka betul-betul berarti bagi kelangsungan hidup dan keberadaan para Nabi yang telah mengalami proses penggemblengan luar biasa sejak bayi.
Hajar yang Luar Biasa
Hajar adalah ibu luar biasa. Semangatnya untuk survive bersama bayi Ismail di tengah padang pasir tanpa air, tanpa suami dan keluarga adalah madrasah pertama bagi Ismail untuk menyerap nilai-nilai cinta, pengorbanan, perjuangan dan kekuatan keyakinan akan adanya pertolongan Allah asal manusia berusaha tanpa putus asa.
Zamzam yang abadi menjadi buah dari itu semua. Ketika Ismail dititahkan untuk disembelih pun, lagi-lagi Hajar berani “menyembelih” kepedihan hatinya sendiri karena harus melepas putra terkasih yang betul-betul menjadi permata hati.
Hal yang sungguh amat sulit dilakukan seorang ibu pengasih di manapun. Semua sikap Hajar yang luar biasa dan bahkan berbeda dari rata-rata itu tentu menjadi madrasah hidup bagi Ismail. Tak heran jika di usia tujuh tahun Ismail sudah sedemikian matang; siap disembelih sebagai bentuk ketaatan pada orang tua dan kepasrahan total kepada Allah. Hal yang tak ada pada anak-anak lain seusianya.
Dua Ibu Nabi Musa
Asiyah ibu angkat Nabi Musa dan Yuhanidz (ada yang menyebutnya Yukabad) ibu kandungnya adalah dua ibu hebat di balik kehebatan Nabi Musa. Tanpa dua orang ini, bayi Musa akan mengalami nasib sama dengan bayi laki-laki yang lahir saat itu, dibunuh Fir’aun.
Dengan kepasrahan total Yuhanidz melarung bayi Musa ke Sungai Nil. Asiyah, istri Fir’aun, menemukannya dan menjadikannya anak angkat setelah meluluhkan hati Fir’aun. Ia hidup di istana ibu angkatnya, dan disusui oleh ibu kandungnya tanpa sepengetahuan Fir’aun karena bayi Musa tak mau menyusu selain kepada Yuhanidz. Asiyah dan Yuhanidz pun telah menjadi perisai hidup, pengasuh dan pendidik Musa yang sejati di titik pusat kekuasaan Fir’aun yang zalim.
Kekuatan iman, keteguhan hati dan keberanian Asiyah mengambil risiko dihukum suaminya menjadi “sekolah hidup” bagi Musa hingga tumbuh menjadi pribadi yang hebat di usia muda. Tak heran jika Musa sejak belia tumbuh menjadi sosok yang kuat iman, teguh pendirian dan berani mengambil risiko meninggalkan nikmatnya kekuasaan untuk berhadapan dengan Fir’aun.
Kekuatan iman dan keberanian Musa itu sudah dicontohkan oleh ibu angkatnya yang memilih meninggalkan istana dunia demi istana surga. Allah SWT memujinya dalam Surat at-Tahrim ayat 11 “Dan Allah menjadikan istri Fir’aun sebagai contoh bagi orang-orang beriman, ketika ia berkata, “Ya Tuhanku, bangunlah untukku rumah disisiMu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”
Sekolah Hidup Maryam
Ibu luar biasa juga ada dalam sejarah Maryam. Kekuatan iman, kepribadian, dan akhlak Maryam menjadi “sekolah hidup” bagi sang putra, Isa. Bagaimana Maryam membesarkan sang buah hati dengan iman dan cinta di tengah cercaan masyarakat yang menganggapnya sebagai pelacur sudah pasti menjadi nilai hidup yang diserap Isa kecil hingga dewasa.
Tak mengherankan jika cinta dan pengorbanan sang bunda yang kuat iman dan mulia pribadinya itu kemudian mampu menempa Nabi Isa tumbuh menjadi pribadi penuh cinta kasih pada kaum papa, menjadi anak yang berbakti kepada ibundanya dan Nabi yang mampu mengemban beratnya risalah di tengah arogansi dan kejaran kelompok Bani Israil yang berkuasa dan ingin membunuhnya. Sangat pantas jika nama Maryam diabadikan menjadi nama surat dalam Alqur’an.
Nilai-nilai yang Sama
Para ibu luar biasa itu telah nyata memberikan segalanya bagi tumbuh kembang sang calon Nabi di tengah situasi sulit yang tak biasa. Dengan sejarah hidup dan tantangan yang berbeda-beda, mereka ternyata mengajarkan nilai-nilai yang sama : cinta, pengorbanan, kekuatan iman, kemuliaan pribadi, ketabahan menghadapi cobaan, serta keberanian melawan arus dan pandangan yang menganggapnya “aneh”.
Namun justru karena itu mereka mampu mengantarkan anaknya menjadi pribadi luar biasa. Anak-anak mereka menjadi Nabi yang tak hanya kuat iman, mulia akhlak dan teguh pendirian. Lebih dari itu mereka mampu mengemban risalah kenabian yang mengharuskan keberanian melawan arus dan ketabahan tak berbatas atas cobaan, godaan dan penderitaan.
Kini, saat perang nilai mengepung anak-anak kita, semua kembali melihat keluarga, di mana ibu berada di titik pusat pusarannya. Dari Hajar, Asiyah dan Yuhanidz, serta Maryam, ibu masa kini bisa mengambil inspirasi. Bahwa nilai-nilai hidup yang mereka yakini dan praktekkan terbukti mampu mengantarkan anak-anak mereka menjadi pribadi menyejarah dan mendunia hingga sekarang.
Mari Sertakan Ibu
Saatnya kita biasakan menyebut peran ibu ketika ada kisah sukses seorang anak, agar nilai-nilai luhur dapat terus diwariskan dari generasi ke generasi; saat menerima penghargaan; saat wawancara; saat menulis biografi; saat momentum-momentum yang tepat.
Ibu memang tak pernah meminta. Namun mengungkapkan nilai-nilai luhur yang diajarkannya adalah bentuk birrul walidain yang membuatnya bisa “abadi” karena kisahnya menjadi ilmu yang bermanfaat. Dan lebih dari itu, kita telah bersikap adil karena mengungkap manusia yang paling berjasa dalam sejarah sukses seseorang. Ada ibu di balik sukses anak. Maka, mari sertakan ibu dalam setiap kisah sukses siapapun. []
*)Tulisan yang sama pernah dimuat di Majalah Noor