Mubadalah.id – Jika merujuk beberapa teks hadis, maka banyak hadis yang melarangan menyakiti pemeluk agama apa pun. Sebutlah misalnya, pernyataan Nabi Muhammad Saw bahwa menyakiti diri atau orang lain adalah haram dalam Islam (Sunan Ibnu Majah, hadits nomor 2430).
Ketika ada seseorang yang bertanya, “Apakah misi utama kerasulan? Nabi menjawab, “Menyambung persaudaraan, membuat aman, perdamaian, memelihara kehidupan, dan memberantas kemusyrikan.” (Musnad Ahmad, hadits nomor 17290).
Pernyataan Nabi Muhammad Saw dalam Musnad Ahmad ini cukup benderang, bahwa memang misi kerasulan adalah menguatkan relasi persaudaraan, mewujudkan segala upaya perdamaian, dan membangun kehidupan, tentu saja di samping ketauhidan kepada Allah Swt.
Dalam ungkapan lain, segala bentuk perilaku buruk dan menyakiti siapa pun, secara prinsip, adalah bukan bagian dari ajaran nabi. Sehingga, teks hadis ini bisa menjadi landasan bahwa nabi melarang menyakiti manusia siapa pun, sekalipun berbeda agama.
Namun, sering kali nalar kita lebih sering terbawa emosi dan terpengaruh otak reptilian yang mudah membenci dan berhasrat menyakiti.
Di antara kita, sering kali, mudah membuat dalih untuk menyakiti orang lain dengan alasan sesat, kafir, atau non-Muslim.
Prinsip Islam
Padahal, dengan siapa pun, kita masih terikat pada norma-norma dan prinsip-prinsip Islam tersebut: berbuat baik dan tidak menyakiti kepada siapa pun, termasuk kepada warga non-Muslim.
Karena otak reptilian ini, sebagian kita sering kali tidak puas dengan norma-norma umum dalam Islam. Banyak di antara kita yang bertanya dan mencari-cari, adakah dalil yang secara khusus melarang menyakiti warga non-Muslim.
Untungnya ada dan cukup banyak teks hadits bahwa Nabi Muhammad Saw. melarang menyakiti warga non-Muslim. Ada hadits dalam Shahih al-Bukhari, dalam Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, dan yang lain.
Teks-teks hadits tersebut menggunakan istilah ahludz dzimmah (yang memiliki perlindungan) dan mu’ahad (yang memiliki perjanjian aman) bagi non-Muslim yang hidup dan berelasi secara baik dengan umat Islam.
Dalam istilah negarabangsa sekarang, mungkin lebih tepat dengan sebutan warga negara (muwathin), baik yang Muslim maupun yang non-Muslim.
Kalangan NU, untuk isu ini, mengenalkan istilah ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan antarbangsa) dan ukhuwwah insaniyah (persaudaraan antarmanusia). Di samping ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan antar umat Islam). []