Mubadalah.id – Akademi Mubadalah 2025, yang bertajuk Penguatan Hak-hak Disabilitas melalui Penulisan Artikel Populer dan Konten Kreator resmi digelar di Hotel Tara, Yogyakarta, pada 11–13 Februari 2025.
Kegiatan ini diikuti oleh 20 peserta dari berbagai daerah, antara lain Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di hari pertama, acara Akademi Mubadalah 2025 dihadiri oleh Direktur Mubadalah, Zahra Amin, serta dua narasumber, yaitu KH. Husein Muhammad Pendiri Yayasan Fahmina dan Nurul Sa’adah Andriani Direktur Sapda Yogyakarta.
Zahra Amin menyampaikan bahwa pelatihan kepenulisan bagi para penulis muda dalam Akademi Mubadalah 2025 ini akan mengajak peserta untuk, pertama, mengenal Fikih Disabilitas. Kedua, mengenali isu disabilitas dalam advokasi dan kebijakan. Ketiga, mendalami penguatan hak disabilitas dalam perspektif KUPI.
“Akademi Mubadalah 2025 ini adalah sebuah ikhtiar dari Mubadalah.id untuk menjadi forum dan momentum bagi para peserta pelatihan sebagai bagian dari jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI),” kata Zahra Amin dalam sambutannya.
“Pelatihan ini bertujuan membekali para penulis perempuan penyandang disabilitas dengan kerja sama bersama penulis dari berbagai jaringan KUPI. Sehingga inisiatif pendidikan publik yang mempromosikan perspektif inklusif disabilitas dapat tersebarluaskan,” tambahnya.
Selain itu, perempuan pendiri Yayasan Selendang Puan itu menegaskan bahwa pelatihan ini merupakan momentum penting bagi setiap individu untuk bersinergi, bekerja sama, berkolaborasi, dan terus menggali ide-ide baru serta pola pengelolaan yang baik.
“Dari forum ini, kami berharap para peserta pelatihan dapat merapatkan barisan untuk menyebarluaskan nilai-nilai KUPI dalam penguatan hak-hak disabilitas melalui kepenulisan, baik di ruang digital maupun non-digital,” tegasnya.
Hebat Sekali
Sementara itu, KH. Husein Muhammad menyampaikan bahwa para penyandang disabilitas memiliki potensi yang luar biasa. “Para penyandang disabilitas itu hebat sekali. Mereka sama dengan kita, dan mereka pasti bisa. Masya Allah,” ujarnya.
“Yang dinilai Tuhan bukanlah soal tubuh, melainkan ruh, jiwa, dan hati kita. Yaitu sesuatu yang non-fisik yang menggerakkan kehidupan,” jelas Buya Husein.
Buya Husein berpesan agar ke depan, melalui kegiatan mubadalah ini, teman-teman bisa menulis buku fikih disabilitas dengan perspektif mubadalah.
“Maka saya kira penting untuk mubadalah melakukan itu, membuat fikih disabilitas dengan perspektif mubadalah,” pungkasnya. []