Mubadalah.id – Pada dasarnya akal perempuan, sebagaimana akal laki-laki, bisa dikembangkan dengan pembiasaan, latihan, dan pendidikan. Tentu saja, ada perbedaan genetik di masing-masing, bahkan di antara individu-individu.
Tetapi, perbedaan ini tidak menjadi tolok ukur penilaian Islam terhadap seseorang karena sifatnya yang terberi. Yang Islam nilai adalah tindakan-tindakan melemahkan atau membesarkan gen akal yang terberi.
Hal yang sama juga berlaku dengan agama perempuan, persis seperti agama laki-laki, bisa melemah dan menguat, bukan karena jenis kelamin. Melainkan karena keimanan, amal, perbuatan, dan pembiasaan.
Karena pembiasaan dan latihan ini, dalam kenyataan, ada banyak perempuan yang lebih pintar dari laki-laki, juga banyak perempuan yang lebih kuat dalam hal agama.
Karena itu, jenis kelamin laki-laki tidak bisa dikatakan lebih pintar dan lebih kuat secara agama dari perempuan. Hadits-hadits tentang akal dan agama perempuan, dengan demikian, harus kita maknai secara metaforis (simbolik) agar tidak bertentangan dengan fakta kehidupan dan prinsip keislaman.
Prinsip Islam
Dalam prinsip Islam sendiri, sebagaimana tercatat dalam ayat dan hadits sebelumnya, jenis kelamin dan hal-hal lain yang sifatnya terberi (seperti ras dan warna kulit) bukanlah ukuran kemuliaan atau kenistaan seseorang, melainkan sikap dan amal perbuatan.
Sehingga, segala bentuk pelabelan negatif kepada perempuan dan tindakan-tindakan diskriminatif adalah bertentangan dengan misi Islam. Seperti, pelabelan perempuan sebagai faktor penyebab segala kebobrokan moral, yang biasa sebagian orang sebut sebagai fitnah, penggoda. Bahkan penjerumus pada dosa, salah, dan keburukan yang masyarakat alami.
Konsepsi ini jelas sekali bertentangan dengan Islam, dan teks-teks terkait hal ini harus kita maknai secara proporsional dengan perspektif dan metode mubadalah agar tidak melanggar pondasi Islam.
Pemaknaan dengan metode mengembalikan teks-teks parsial kepada teks-teks yang lebih universal sesungguhnya biasa untuk isu-isu lain. Seperti yang telah tergambar, tetapi anehnya masih begitu sulit menerima pemaknaan terkait dengan isu-isu yang menyudutkan perempuan.
Seharusnya, teks-teks universal tentang kehormatan martabat perempuan sebagai manusia menjadi basis untuk memaknai teks-teks parsial, misalnya yang terkait dengan pesona (fitnah) perempuan.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.