Mubadalah.id – Saya kaget saat membaca postingan akun ig @belajartaaruf tentang perempuan yang dirindukan laki-laki. Di dalamnya mengandung makna perasaan insecure seorang laki-laki dalam memilih pasangan, karena kontennya berisikan seperti ini;
“Laki-laki akan memilih wanita dia rasa bisa dipimpin; Fitrahnya laki-laki adalah sebagai seorang pemimpin, maka secara nalurinya laki-laki akan memilih wanita yang sekiranya bisa dipimpinnya, makanya dalam beberapa kasus laki-laki mundur saat bertemu dengan wanita yang lebih dibanding dirinya, entah dari sisi karir, pendidikan atau keuangan.”
Melihat postingan tersebut, saya jadi teringat curcolan teman laki-laki saya beberapa bulan yang lalu. Dia menceritakan bahwa perempuan yang disukainya merupakan anak seorang ustadz. Dan saat mengetahui hal itu, dia malah mengambil langkah mundur alon-alon. Karena merasa tidak percaya diri dan khawatir tak bisa imbang bersanding dengan calon doinya itu.
Saat itu saya langsung menanggapinya untuk tidak merasa insecure dan cukup dengan memberi support sang gebetannya. Tapi di sisi lain, rasa insecure teman saya sekilas memang tampak wajar. Sebab, insecure merupakan kondisi psikologis individu atas rasa ketidakcukupan untuk memenuhi suatu standar dalam sebuah sistem yang berlaku di masyarakat.
Sistem yang masih kental berlaku di masyarakat Jawa Timur apalagi di pedesaan ialah norma sosial tradisional yang meletakkan laki-laki pada posisi superior dan melekatkannya dengan maskulinitas. Hal itu kemudian, menggambarkan laki-laki sebagai sosok pemimpin yang kuat, gagah, serta pantang mengeluh menjadi karakter ideal seorang laki-laki.
Maka, besar kemungkinan akan menimbulkan rasa insecure pada diri laki-laki jika menemui atau pun menyanding perempuan yang dirasa lebih tinggi potensinya dari pada dia. Sebab, merasa maskulinitasnya akan ternodai apabila bukan si akhi yang berkuasa memiliki potensi lebih unggul dan merasa was-was apabila tidak bisa memimpin pasangannya.
Hal mirip juga saya alami ketika sharing dengan teman laki-laki saya yang lain. Dia mengatakan, “saya pribadi memilih perempuan yang penurut atau taat, karena berpotensi menjadi sholehah lebih besar dari pada perempuan pintar, sebab yang pintar belum tentu taat dan itu akan sulit menjadi sholehah.”
Sampai di sini saya makin bertanya-tanya, kenapa para akhi ini seakan-akan takut apabila pasangannya lebih unggul dari segi kepintaran, karir, keuangan ataupun yang lainnya? Apa sebenarnya yang sedang mereka takutkan? Benarkah akhi-akhi takut kehilangan maskulinitasnya?
Jika jawabannya benar yah mohon maap nih berarti situ dalam mode insecure dan gak cukup percaya diri, heuheu…
Padahal dengan akhi yang mau menerima keunggulan perempuan dan mau berjuang berproses bersamanya tanpa mundur alon-alon, jelas tidak akan mengurangi kadar maskulinitas para akhi. Justru dengan adanya keunggulan potensi yang dimiliki pasangan akan membuat akhi tidak insecure, dan semakin grow up dengan upgrade diri, menambah wawasan dan memperbanyak pengalaman.
Toh perihal menjalin relationship bukanlah tentang satu pihak mengungguli atau mendominasi pihak lain. Akan tetapi, saling mengimbangi dan bertumbuh bersama membangun relasi setara yang sehat dan maslahat. Seperti kisah relationship Rasulullah SAW sang panutan akhi-akhi sholeh dengan bunda Khadijah, seorang saudagar sukses yang memiliki kelebihan secara finansial dan karir yang cemerlang.
Dalam menjalin kehidupan rumah tangga dengan Sayyidah Khadijah, Rasulullah SAW dikisahkan juga masih turut membantu mengembangkan bisnis yang dipimpin sang istri. Dengan begitu perihal memimpin dan dipimpin dalam relasi rumah tangga, keduanya (laki-laki dan perempuan) mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin.
Saling bergantian bertukar peran, layaknya partner yang sedang menyelesaikan berbagai project untuk kemaslahatan keduanya. Terkadang laki-laki memimpin perempuan dan ada kalanya juga perempuan yang memimpin, bergantung dengan bagaimana konteks yang sedang dihadapi.
Bukan malah menjadi laki-laki yang insecure, atau merasa memiliki otoritas penuh terhadap perempuan dan berhak memimpinnya. Padahal sebaiknya tidak seperti itu, laki-laki maupun perempuan sama-sama merupakan manusia sebagai individu yang memiliki otoritas penuh terhadap dirinya sendiri.
Keduanya sama-sama sebagai hamba Allah dan khalifah fil ardl. Sehingga berhak berperan secara aktif mewujudkan kemaslahatan, baik di dalam rumah maupun di luar rumah sekaligus menikmatinya. Sebab, standar nilai laki-laki dan perempuan adalah taqwa dengan berhubungan baik kepada Allah dan manusia. []