Mubadalah.id – Bagi banyak orang, sepatu adalah barang yang mudah ditemui, baik di toko-toko offline maupun di e-commerce. Bahkan satu orang dapat memiliki berpasang-pasang sepatu. Mulai dari flat shoes, sneakers, slip on, hingga running shoes. Tetapi aksesibilitas sepatu masih sangat minim bagi penyandang disabilitas fisik.
Beberapa waktu lalu, saya berbincang dengan seorang teman yang memiliki saudara penyandang disabilitas fisik, yakni kaki yang tidak berkembang sejak lahir. Namanya Rama (bukan nama sebenarnya). Orang tuanya menerapkan pola asuh yang mengedepankan kemandirian, dengan membiasakan berjalan kaki meski perlahan dan dengan berpegangan tembok.
“Saya bangga dengan tekadnya untuk terus bergerak tanpa kursi roda. Tetapi yang membuat saya sedih, tidak ada sepatu yang aksesibel untuknya, Sofia. Jika pun ada itu sifatnya custom, dan harganya mahal” ucap temanku.
Untuk beberapa saat saya tertegun. Bahkan saya baru saja memikirkan untuk membeli sepatu karena merasa butuh. Tetapi setelah aku tilik kembali, itu hanya kebutuhan semu yang membuat saya tidak merasa cukup dengan apa yang telah ada.
Aksesibilitas Sepatu yang Minim
Dari cerita teman saya, saya mendapatkan kisah bagaimana perjuangan Rama untuk hidup mandiri. Untuk tetap dapat berjalan dengan kaki agar ruang geraknya tidak terbatas di atas kursi roda. Berkat lingkungan keluarga yang sangat suportif serta memahami bahwa penyandang disabilitas bukanlah kekurangan, tetapi different ability, Rama bertumbuh menjadi sosok yang mandiri.
Bahkan ia sempat mendapatkan pelatihan pemberdayaan untuk beternak babi dari gereja. Selain pengetahuan dan keterampilan praktis, ia juga mendapat modal untuk memulai usaha peternakan di rumahnya. Dengan kemampuan tersebut, Rama telah membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukan menjadi penghalang untuk mandiri secara finansial. Usaha peternakan babi tersebut menjadi simbol keteguhan dan semangat untuk hidup bermartabat.
Karena melihat semangat berwirausaha yang tinggi, teman saya akhirnya memiliki keinginan untuk membelikan sepatu untuk menunjang aktivitas. Serta sebagai wujud dukungan untuk Rama. Tetapi perjalanan untuk membelikan sepatu, jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Setelah singgah ke banyak toko, ternyata belum ada sepatu yang aksesibel untuk penyandang disabilitas.
Kisah Rama yang gigih dan semangat menjalani kehidupan namun terkendala aksesibilitas sepatu, mungkin hanya satu cerita dari banyaknya kisah serupa yang dialami penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan betapa hak aksesibilitas yang telah diatur dalam Undang-undang belum benar-benar terlaksana secara memadai.
Saatnya Normalisasi Kebutuhan Difabel
Buya Husein Muhammad dalam Akademi Mubadalah 2025 menyampaikan materi mengenai fikih disabilitas. Beliau mengatakan pentingnya menanamkan lima kesadaran ketika membahas isu disabilitas. Lima kesadaran tersebut adalah takdir, membongkar bias identitas ketubuhan, bersama yang termarjinalkan, memulai perubahan dari tradisi, dan memahami bahwa negara sebagai sebagai penanggung jawab.
Dalam konteks ini, saya akan memfokuskan kesadaran ketiga, yakni bersama yang termarginalkan. Frasa ini merujuk pada kesadaran bahwa untuk mewujudkan lingkungan yang adil dan setara, kita tidak boleh mengabaikan kebutuhan dasar penyandang disabilitas.
Dalam kasus Rama misalnya, ia kesulitan mendapatkan fasilitas dasar, yakni aksesibilitas sepatu yang sesuai dengan kebutuhan. Hal ini mencerminkan adanya ketimpangan pemenuhan kebutuhan dasar antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas.
Penyebab tidak tersedianya sepatu yang aksesibel bagi penyandang disabilitas karena belum terbangun kesadaran kolektif masyarakat secara luas mengenai hak-hak penyandang disabilitas. Memahami bahwa penyandang disabilitas juga sebagai subjek penuh menjadi kunci untuk mewujudkan kehidupan yang inklusif. Sebagai sesama manusia, sudah seharusnya kita memiliki prinsip saling untuk membangun ekosistem lingkungan yang setara.
Dalam hal pemenuhan aksesibilitas sepatu misalnya, butuh kesadaran kolektif serta sinergi berbagai pihak untuk mewujudkannya. Produsen sepatu sebagai pihak yang memiliki potensi, diharapkan mengembangkan desain dan fitur memadai untuk penyandang disabilitas, selain fokus persaingan pasar bebas.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan serta regulasi sudah saatnya mengarusutamakan pemenuhan hak-hak disabilitas agar terbangun kesadaran dari berbagai lapisan masyarakat secara massif.
Dengan adanya kerja kolektif dari pemerintah, produsen sepatu serta masyarakat menjadi kunci utama untuk mewujudkan perubahan yang signifikan. Bukan hanya dalam kampanye dan sosialisasi sesaat, tetapi juga melalui agensi dan aksi nyata hingga dapat penyandang disabilitas merasakan dampak positifnya. []