Mubadalah.id – Indonesia kembali mengalami duka yang sangat mendalam dengan terjadinya peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di depan Gereja Katedral Makassar. Aksi ini merupakan yang kedua kalinya terjadi di kota Makassar setelah peristiwa Bom McDonald’s pada tahun 2002.
Aksi bom bunuh diri ini tentu bukanlah yang pertama di Indonesia, terdapat serangkaian aksi teror lainnya, seperti di Surabaya pada 2018 dan Sibolga pada 2019. Jika melihat dari aksi-aksi sebelumnya, pelakunya diketahui berafiliasi dengan kelompok keagamaan tertentu dengan pemahaman yang radikal.
Berbicara mengenai pemahaman radikal, ini merupakan tingkatan pemahaman seseorang sebelum dia melakukan tindakan kekerasan. Pemahaman ini muncul dari yang semula tidak memiliki rasa saling menghargai antar sesama, kemudian menjadi intoleran, lalu radikal, dan berakhir dengan tindakan kekerasan, seperti aksi bom bunuh diri ini.
Pelaku bom bunuh diri sendiri selalu disebut sebagai teroris yang memiliki pemahaman yang ekstrim (terorisme), karena termasuk ke dalam aksi teror. Terorisme juga termasuk ke dalam kejahatan luar biasa yang memiliki karakter, motif, dan latar belakang yang berbeda dengan bentuk kejahatan pada umumnya.
Meskipun dalam setiap aksi teror ini pihak kepolisian dan pemerintah setempat gencar memburu jaringan terorisme, apalagi untuk sekarang ini presiden mengarahkan agar mengusut jaringan terorisme di kota Makassar hingga tuntas. Namun sepertinya tidak cukup hanya dengan mengetahui pelaku dan jaringannya, melainkan berempati terhadap korban, saksi mata, hingga kita yang menerima beritanya itu sangatlah penting.
Menurut Louise Richardson dalam bukunya The Roots of Terrorism menyebutkan bahwa terorisme berakar dari persoalan sosial, politik, dan agama. Dari sudut pandang sosial-budaya, kemunculan terorisme dapat diakibatkan karena masih kuatnya kultur kekerasan yang diadopsi masyarakat tertentu.
Kultur tersebut semacam menjadi mekanisme dalam penyelesaian masalah atau perbedaan dengan cara dan tindakan kekerasan. Dalam kondisi seperti inilah sangat memungkinkan terorisme tumbuh dan muncul di dalamnya.
Bahkan dalam kondisi masyarakat yang melanggengkan budaya patriarki bisa sangat mungkin menumbuhkan benih-benih radikal yang mengarah kepada aksi teror. Dalam peristiwa bom di Surabaya saja perempuan dengan sangat jelas terlibat di dalamnya.
Jika merujuk pada kasus teror bom di Makassar sekarang, aparat setempat menemukan pelakunya lagi-lagi pasangan suami istri dengan usia yang tergolong sebagai milenial. Mereka juga diketahui terhubung dengan kasus bom di Jolo Filipina yang mana dua diantaranya berasal dari Indonesia. Pelaku-pelaku ini juga menurut pengamat terorisme yang dilansir dari BBC, diduga tergabung sebagai anggota kelompok Jaringan Ansharut Daulah dengan motif sebagai balas dendam dan aksi jelang bulan Ramadhan.
Dalam hal ini perempuan kembali terlibat dalam aksi teror, ini bukan menjadi kasus yang pertama. Jika dilihat lebih lanjut, semenjak kasus bom Surabaya hingga kasus bom saat ini perempuan selalu terlibat di dalamnya. Artinya mulai saat itu, sekarang, dan mungkin nanti semangat jihad berujung teror ini bukan hanya menggema di kalangan laki-laki, tapi juga bagi perempuan.
Perempuan-perempuan yang terlibat ini bisa jadi tidak punya pilihan selain mengikuti perintah dari ajaran agama yang dipelajarinya untuk menjadi syuhada, apalagi kalau mereka meyakini bahwa suami atau laki-laki yang hidup bersamanya merupakan pemimpin yang harus benar-benar ditaati dan dipatuhi.
Ketika banyak perempuan yang mulai terpapar radikalisme dan ekstremisme, artinya perempuan juga harus menjadi agen perdamaian serta terlibat dalam penanggulangan terorisme. Hal ini juga menandakan bahwa perspektif gender dalam menyelesaikan permasalahan ini sangat penting dan perlu diperhatikan.
Kemudian dari sisi politik, kondisi ketidakadilan secara umum dapat menjadi salah satu pemicu lahirnya terorisme. Kondisi ketidakadilan dalam berbagai konteks yang dialami sekelompok orang akan melahirkan sentimen kecemburuan dan kebencian terhadap kelompok lain. Apalagi jika berbenturan dengan konteks suatu ajaran agama yang mempertahankan idealismenya yang secara praktis ingin menjadi lebih dominan di lingkungan masyarakat.
Selanjutnya dari perspektif keagamaan, kemunculan terorisme merupakan imbas dari pemahaman keagamaan seseorang yang cenderung eksklusif dan konservatif. Keyakinan ini bisa dikatakan berbahaya karena sewaktu-waktu akan menganggap keyakinan orang lain salah bahkan sesat.
Cara pandang yang demikian umumnya akan menuntut pengikutnya pada praktik intoleransi bahkan kekerasan yang mengatasnamakan kebenaran terhadap suatu ajaran. Jika merujuk pada kasus bom di Makassar ini bahkan pelakunya diberi bahan peledak oleh jaringannya serta didukung dalam proses merakitnya hingga aksi bom bunuh dirinya.
Kondisi demikian sangatlah ironis, ketika pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat saling berkolaborasi dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme, justru jaringan-jaringan yang terlibat aksi teror ini pergerakannya semakin massif.
Di samping dari mana akar terorisme ini tumbuh, sepertinya kita memerlukan satu upaya dalam mengembangkan corak keberagamaan yang inklusif, toleran, dan moderat secara terus menerus yang disebut dengan moderasi beragama. Tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas aksi-aksi teror ini dilakukan karena merasa sesuai dengan ajaran yang telah dia dan kelompoknya tafsirkan dari suatu ayat maupun sejarah agama.
Moderasi beragama ini diperlukan agar kita bisa memahami suatu ajaran dengan pendekatan kontekstual. Ketika suatu ajaran yang termaktub dalam kita suci dapat dipahami dengan pendekatan kontekstual, maka kemungkinan mampu menjawab berbagai permasalahan dan tantangan zaman yang sangat dinamis ini.
Moderasi beragama sendiri diyakini dapat membentuk relasi keberagaman yang inklusif dan toleran. Bahkan seluruh perbedaan yang ada di dunia ini pada akhirnya dapat dipahami sebagai keniscayaan dan karunia dari Tuhan.
Para pemeluk dari beragam keyakinan juga mungkin saja tidak lagi terjebak dalam klaim kebenaran sepihak dan dapat lebih terbuka dengan kelompok lain jika mempraktikan moderasi beragama ini. Melalui praktik ini diharapkan agar aksi kekerasan dan teror yang mengatasnamakan agama dapat dicegah sedini mungkin.
Untuk mewujudkan moderasi agama tentu tidaklah mudah, tapi juga bukan berarti mustahil. Untuk itu, dalam kondisi inilah diperlukannya peran aktif dari berbagai kalangan, mulai dari laki-laki dan perempuan, pemerintahan, organisasi masyarakat, tokoh agama, hingga pekerja seni untuk mempromosikan pentingnya berkeyakinan secara moderat, toleran, dan inklusif.
Dengan terciptanya kolaborasi dari berbagai kalangan serta terciptanya sinergi dari berbagai organisasi sangat diharapkan pemahaman intoleran hingga aksi teror tidak hanya terselesaikan dipermukaan saja, melainkan hingga ke akar-akarnya. []