Mubadalah.id – Perjalanan ke tanah suci bukan aktivitas yang baru bagi masyarakat Muslim Nusantara. Sejak dahulu, orang-orang Nusantara telah melakukan perjalanan haji. Bahkan, jumlah jemaah haji dari Indonesia yang sangat banyak itu bukan fenomena yang baru terjadi. Pada tahun 1920-1 M, misalnya, tercatat 47% persen dari seluruh jumlah jemaah haji yang tiba di tanah suci merupakan Muslim dari Nusantara.
Orang Nusantara Pergi Haji pada Abad 20 M
Namun agak berbeda dari motif naik haji saat ini yang sekadar menunaikan rukun Islam kelima. Pada permulaan abad 20 M, dan juga sebelum abad ini, aktivitas orang Nusantara di tanah suci lebih dari itu. Sebagaimana berdasarkan penjelasan Martin Van Bruinessen dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji,” bagi orang Nusantara dahulu haji selain merupakan ibadah juga memiliki fungsi penting lainnya.
Dahulu, orang Nusantara yang pergi haji banyak yang tinggal bertahun-tahun bahkan sampai menetap di Makkah. Di tanah suci, selain menunaikan ibadah haji, mereka juga menjalankan aktivitas sosial, seperti membangun perekonomian lewat perdagangan, dan tentu juga tidak lepas dari aktivitas keilmuan.
Dalam konteks sosial ini, para perempuan Nusantara di tanah suci juga memainkan peran yang mewarnai jalannya aktivitas perdagangan dan keilmuan di Makkah.
Perempuan Nusantara yang Berdagang di Tanah Suci
Aktivitas dagang perempuan Nusantara di Makkah dapat kita lihat, misalnya, dari data yang Mufti Ali ajukan dalam artikelnya yang berjudul “Nyi Hj. Arnah Cimanuk (1876-1923): Seorang Ulama Banten di Mekah.”
Dalam tulisan itu, Mufti Ali menjelaskan kalau berdasarkan laporan pegawai Konsulat Belanda di Jeddah, pada tahun 1914 M, setidaknya ada sekitar 20 orang Banten yang berdagang pakaian di Makkah. Menariknya, dari jumlah tersebut, 12 orang di antaranya merupakan perempuan.
Kedua belas perempuan Banten itu adalah; Nyai Hj. Minah dari Tanara, Nyai Hj. Sarafah dari Ciwedus, Nyai Hj. Markumah dari Tanara, Nafisah dari Tanara, Maryam dari Tanara, Nyai Hj. Saban dari Cikande, Suwedah dari Pandeglang, Hasunah dari Tanara, Hadijah dari Tanara, Masinah dari Tanara, Ruqoyah dari Serang, dan Johariah dari Trumbu.
Jadi, di antara orang-orang Banten yang berdagang pakaian di Makkah, pada permulaan abad 20 M, kebanyakan adalah perempuan. Para perempuan tersebut umumnya berdagang pakaian di rumah yang menjadi tokoh atau butik mereka.
Aktivitas dagang kedua belas perempuan Nusantara (Banten) itu, memberikan kita gambaran bahwa perempuan jelas mampu membangun kemandirian ekonomi. Dan, di tanah suci, jauh dari tanah kelahiran, mereka dapat membuktikan hal itu.
Perempuan Nusantara yang Mewarnai Aktivitas Keilmuan di Tanah Suci
Selain perdagangan, pada abad 20 M, kiprah perempuan Nusantara di tanah suci juga lekat dengan aktivitas keilmuan. Ada sosok-sosok perempuan yang menjadi ulama mumpuni, dan turut mewarnai aktivitas keilmuan di Makkah kala itu.
Nyai Arnah Cimanuk adalah salah seorang perempuan ulama dari Banten. Pada permulaan abad 20 M, turut mengajarkan agama di Makkah. Selain Nyai Arnah, sebagaimana berdasarkan data dari Mufti Ali, juga ada seorang perempuan ulama asal Bandung, yaitu Nyai Maryam. Di mana ia juga mengajarkan agama di Makkah kala itu.
Selain kedua perempuan Nusantara tersebut, ada Nyai Khoiriyah Hasyim yang merupakan putri Kiai Hasyim Asy’ari, dan Nyai Aminah yang merupakan istri Syekh Yasin al-Fadani. Kedua perempuan ini juga mewarnai aktivitas keilmuan di Makkah pada abad ke-20 M.
Sebagaimana penjelasan Fitrotul Muzayanah dalam “Gerakan Sosio-Intelektual Nyai Khoiriyah Hasyim,” bahwa kehadiran Nyai Khoiriyah yang ikut suaminya, Syekh Muhaimin al-Lasemi, di Makkah itu sangat berpengaruh dalam memajukan pendidikan perempuan di tanah suci.
Pada tahun 1942 M, Nyai Khoiriyah mendirikan madrasah khusus perempuan di Makkah, tepatnya di Kota Syamiah. Madrasah yang bernama Kuttabul Banat itu termasuk madrasah untuk perempuan yang pertama di Makkah. Dan, di kemudian hari, terinspirasi dari Nyai Khoiriyah, Nyai Aminah juga mengembangkan madrasah untuk perempuan. Nyai Aminah menamai madrasahnya dengan nama Khoiriyah University.
Sampai di sini, berdasarkan kesejarahan dari para perempuan Nusantara, kita dapat memahami bahwa naik haji ternyata bukan hanya soal menunaikan ibadah. Dalam konteks her-story Nusantara, perjalanan ke tanah suci juga soal sejarah eksistensi para perempuan yang mampu membangun perekonomian dengan berdagang. Selain itu, para perempuan ini juga mewarnai aktivitas keilmuan di Makkah pada abad ke-20 M. []