Mubadalah.id – Saat normal dan kondisi tubuh sehat saya tidak bisa makan dengan tangan kiri, begitupun dengan minum, memakai baju dan pekerjaan lainnya yang biasanya dihandle oleh tangan kanan. Namun sejak kecelakaan yang membuat lengan tangan kananku patah semua berubah, tangan kiriku terbukti sangat kooperatif menggantikan seluruh peran tangan kanan.
Sehari dua hari canggung tapi setelah seminggu tangan kiriku sangat lincah melakukan peran barunya. Akhirnya saya memiliki kesimpulan, semua akan bisa jika terbiasa. Baik biasa karena kehendak sendiri atau karena terpaksa.
Saya jadi teringat pesan Imam Asy-Syafii kepada para pencari ilmu,
أَخي لَن تَنالَ العِلمَ إِلّا بِسِتَّةٍ# سَأُنبيكَ عَن تَفصيلِها بِبَيانِ
ذَكاءٌ وَحِرصٌ وَاِجتِهادٌ وَبُلغَةٌ # وَصُحبَةُ أُستاذٍ وَطولُ زَمانِ
Saudaraku, kamu tidak akan mendapatkan ilmu, kecuali dengan enam perkara, akan kuberitahu rinciannya dengan jelas : cerdas, tamak (terhadap ilmu), bersungguh-sungguh, bekal, menemani guru, waktu yang lama.
Enam sifat yang harus dimiliki oleh pencari ilmu, tiga diantaranya adalah tamak ilmu, bersungguh-sungguh dan durasi waktu yang tidak sebentar. Jika dikerucutkan lagi tiga sifat ini bertumpu pada keinginan kuat untuk berbuat yang terbaik.
Saya selalu berpesan pada anak-anak didik saya di sekolah, “jangan kapok belajar nak, kalau tidak paham hari ini mungkin besok atau lusa. Dan saya yakin Tuhan tidak akan berhutang pada usaha kalian” dan benar, seorang anak autis yang saat duduk di bangku Taman Kanak-kanak tidak bisa sama sekali membedakan huruf A, B, C dan seterusnya, kini di bangku SMP dia sudah lancar membaca buku dan Alquran, hafal sebagian juz Amma. Seluruh guru kaget sekaligus haru dia akan bisa sampai di titik ini.
Saya percaya pada hal yang selalu diulang-ulang akan menjadi kebiasaan dan kebenaran. Tangan kanan atau kiri bisa melakukan apapun (terlepas dari etika keagamaan), ia dibentuk oleh kebiasaan, hal ini tentu juga berlaku pada setiap individu, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang melakukan perannya sebagai suami, istri, ibu, bapak atau anak dalam keluarga.
Anda yang seorang bapak bisa saja memulai dan membiasakan diri menyapu rumah, memasak, ganti popok anak, dan sebagainya yang dicap sebagai “just for woman“. Ada juga toh bapak yg terbiasa mengerjakan itu semua?
Atau ibu-ibu yang bisa angkat galon sendiri, servis mesin cuci, membenarkan genting dan sebagainya, yang kalau ada perempuan mengerjakan itu, sontak ada yang bilang “Duhh, kamu kan cewek. Itu kerjaan cowok lo”
Struktur tubuh manusia bisa dengan adaptif menghadapi lingkungan bagaimanapun dan dimanapun berada. Bukankah manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk?
لقد خلقنا الانسان في أحسن تقويم “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
Syekh Ali aş-Ṣabūnī mengutip pendapat ar-Rāzī, sebaik-baik bentuk adalah berubahnya bentuk dari yang awalnya benda mati (mani) menjadi manusia, sebelumnya bisu menjadi bicara, tuli menjadi mendengar, buta menjadi melihat, dan menjadikan setiap anggota badan berfungsi dengan sangat menakjubkan. Dan tentu hiasan terindahnya adalah ilmu, akal dan berbicara.
Maka bagaimanapun bentuk seseorang ia akan bisa beradaptasi dengan kehidupan dan lingkungannya. Bahkan seorang difabel telah dibekali sejumlah kemampuan di luar ekspestasi orang normal.
Maka ada peran-peran khusus untuk jenis kelamin tertentu. Simpulan ini bisa dimasukkan dalam kaidah fikih al-‘ādatu muhakkamatun, setiap pekerjaan yang diulang-ulang akan menjadi hukum tetap. Artinya pekerjaan yang biasa dilakukan dengan sendirinya akan cakap/purna pengerjaannya.
Seorang suami jangan terburu berkata “ini kerjaan cewek” pada pekerjaan memasak, menyapu rumah, menggendong anak, mengganti popok. Nabi kita panutan seluruh umat islam biasa memasak, menyapu dan pekerjaan domestik lainnya.
Begitupun seorang istri jangan terburu berkata “ini kerjaan cowok” pada pekerjaan yang bersifat publik seperti mencari nafkah di luar rumah, mengajar di ruang publik, mengemudikan mobil atau melakukan pekerjaan keras.
Sayyidah Aisyah menjadi guru banyak sahabat laki-laki karena beliau adalah perempuan cerdas yang menjadi sumber ilmu bagi para sahabat, Sayyidah Nafisah menjadi guru intelektual dan spiritual Imam asy-Syāfi’ī. Dan masih banyak lagi sosok perempuan lain yang melakukan perannya sesuai kapasitas bukan berdasarkan jenis kelamin.
Pilihannya mau mencoba dan membiasakan diri melakukan peran-peran itu. Lelaki atau perempuan bisa melakukan apapun. Mau mencoba sekarang atau menunggu waktu darurat? []