“Adalah pelecehan memperkenalkan seorang yang sudah populer.”
Mubadalah.id – Kutipan kata-kata ini relevan sekali kiranya jika semasyhur dan seagung seperti Imam Al-Ghazali masih diceritakan. Maka dari itu, tidak patut jika kami memperkenalkan diri Beliau, padahal popularitasnya tidak hanya membumbung tinggi melangit namun juga menyebar pada bentangan bumi hingga orang seawam apapun pasti mengenal diri Beliau, terlebih dengan karya monumentalnya Ihya ‘Ulumudin.
Terlepas dari itu semua, ada yang menarik untuk dikaji dalam diri beliau, yaitu tentang persepsi di masa mudanya mengenai Ilmu. Klasifikasinya terhadap ilmu yang dipaparkan dalam kitab Al-Musthasfa ini tidak biasa seperti dalam kitab lainya, semisal pembagian bahwa ilmu di bagi dua. ilmu yang bersifat syari’at dan ghoiru syari’at dll.
Beliau juga memberikan penilaian terhadap ilmu yang sudah diklasifikasi. Lebih menarik lagi, kitab yang memaparkan adalah salah satu kitab fundamental dalam ilmu usul fikih sebagaimana fundamentalnya kitab Ihya Ulumiddin dalam ilmu tasawuf. Kitab Al-Mustashfa ini menjadi salah satu kitab induk usul fikih kalangan mutakallimin atau rasionalis.
Sebelum masuk pembahasan klasifikasi dan penilaian ilmu, Al-Gazali memberikan stimulus untuk mendukung statemen selanjutnya. Dia mengatakan bahwa ketaatan adalah stok perdagangan dunia yang akan menarik keuntungan kelak di akhirat. Ketaatan menurut Al-Ghazali, terbagi menjadi dua, yaitu amal perbuatan dan pengetahuan.
Dan ketaatan yang paling menguntungkan adalah pengetahuan karena dalam menekuni pengetahuan terkandung unsur amal perbuatan itu sendiri. Artinya, seseorang yang menekuni aktivitas keilmuan, maka sekaligus pasti beramal namun tidak sebaliknya, orang yang beramal belum tentu menekuni keilmuan.
Ulama yang bergelar Hujjatu al-Islam itu mengklasifikasikan ilmu. Menurut Beliau, ilmu itu dibagi menjadi tiga. Pertama, adalah ilmu yang murni rasional ilmu yang hanya mengandalkan kecerdasan intelektual seperti ilmu matematika, arsitek dan astronomi. Kedua, adalah ilmu yang murni tranformasi secara estafet seperti ilmu tafsir dan ilmu hadis. Ketiga, ilmu yang mengawinkan antara rasional dan tranformasi seperi fikih dan usul fikih. Dari ketiga pembagian ilmu di atas yang paling Agung adalah ilmu dari jenis ketiga, yaitu ilmu yang mengomparasikan antara peranan akal dan wahyu (periwayatan dari satu generasi ke generasi selanjutnya).
Penilaian Al-Ghazali tentang ilmu yang hanya mengandalkan akal ini tidak terlalu positif. Ia mengatakan, syari’at tidak menganjurkan untuk menekuni ilmu semacam itu (hanya bertendensi pada akal). Karena ilmu-ilmu tersebut didasarkan pada praduga-praduga yang lemah atau bahkan kebohongan padahal praduga dalam Islam termasuk perbuatan dosa, dan adakalanya memang didasarkan pada praduga yang jujur namun tidak memiliki manfaat langsung dalam kehidupan akhirat kelak.
Berbeda dengan penilaian sebelumnya, Al-Ghazali menilai lebih positif tentang ilmu yang hanya didasarkan pada periwayatan. Hanya saja, ilmu-ilmu semacam ini sangat mudah karena siapapun dapat menguasai ilmu tersebut dengan gampang, baik anak kecil maupun yang besar sebab hanya mengandalkan hafalan dan tidak perlu memeras otak. Sementara untuk jenis ilmu yang ketiga yaitu ilmu yang memadukan antara rasio dan periwayatan, Imam Al-Ghazali mengatakan termasuk ilmu yang paling Agung nan Mulia karena mengawinkan antara peran akal dan wahyu (periwayatan) secara proporsional.
Betapa banyak seorang agamawan yang hanya mengandalkan periwayatan-periwayatan tanpa melibatkan akal akhirnya terjerumus dalam fanatisme, radikal dan sangat kaku dalam menjalani ajaran Agamanya. Tidak sedikit pula, orang yang terjebak liberal atau bahkan menjadi Ateis karena mengandalkan peran akal semata dan mengabaikan ilmu Agama (ilmu periwayatan-periwayatan). Dengan demikian, komparasi antara kecerdasan intelektual dan periwayatan secara seimbang dapat mengendalikan diri untuk tidak terjerumus pada jurang fanatik apa lagi ateis.
Oleh karena itu, sesuai dengan persepsi beliau tentang ilmu maka Beliau mengambil peran untuk menghabiskan waktu mudanya dalam menggeluti ilmu fikih, usul fikih dan semacamnya yang memadukan antara peran akal dan wahyu. sebagaimana pengakuan beliau sendiri dalam kitab Al-Mustashfa tersebut, meskipun pada masa tua beliau menekuni bidang tasawuf hingga akhir hayatnya.
Penting diketahui, penilaian yang dilakukan Imam Al-Ghazali ini tidak didasarkan pada fungsional dari suatu ilmu, melainkan pada alat yang dijadikan tendensi dalam memperolehnya, yang pertama hanya menekankan akal dan mengabaikan sama sekali ilmu periwayatan. Demikian pula dengan yang kedua, dimana cuma mengandalkan penukilan membabi buta tanpa memerankan akal sedikitpun di dalamnya. Penilaian Al-Ghazali ini kurang lebih sama dengan statement seorang Ilmuwan Albert Einstein yang mengatakan; “Ilmu pengetahuan tanpa Agama adalah pincang, dan Agama tanpa ilmu adalah buta”. []