Mubadalah.id – Bencana alam seperti banjir di Aceh dan sebagian besar provinsi Sumatera telah membuka mata banyak orang. Bahwa “kerusakan alam akibat ulah tangan manusia” bukan lagi kecemasan dalam wacana ekologis, namun sudah benar-benar terjadi secara empiris.
Kita semua menyaksikan sendiri dampaknya secara langsung. Pertanyaannya, haruskah alam lebih dulu menunjukan bukti, baru kita melakukan evaluasi? Adakah peringatan, maupun tanda bahaya yang harus kita perhatikan? Dalam tulisan ini penulis sedikit mengulas beberapa pengingat dan peringatan tentang manusia dan bencana alam dalam Al-Qur’an.
Manusia menikmati kehidupan dari fasilitas alam
Pada dasarnya Tuhan menciptakan kekayaan alam sebagai fasilitas bagi kehidupan manusia. Tuhan telah menundukan alam semesta agar bisa dikelola dan dimanfaatkan oleh manusia. Manusia menikmati kekayaan nabati dan hewani di alam semesta untuk berbagai kebutuhan hidupnya.
Mulai dari sandang, pangan, papan, transportasi hingga obat obatan. Semua itu diberikan Tuhan secara cuma-cuma kepada manusia. Tuhan hanya meminta manusia untuk mengingat pemberian itu dengan bertauhid dan bersyukur. Kemudian mengelolanya dengan baik serta tidak berlebihan.
“Dialah yang menumbuhkan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, serta zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya. Akan tetapi, janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141, Terj. Kemenag R1 2019)
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Kami telah menciptakan untuk mereka hewan-hewan ternak dari ciptaan tangan Kami (sendiri), lalu mereka menjadi pemiliknya? Kami menjadikannya (hewan-hewan itu) tunduk kepada mereka. Sebagian diantaranya menjadi tunggangan mereka dan sebagian (lagi) mereka makan. Pada dirinya (hewan-hewan ternak itu) terdapat berbagai manfaat dan minuman untuk mereka. Apakah mereka tidak bersyukur?” (QS. Yasin: 71-73, Terj.Kemenag RI 2019)
Namun sayangnya, kenikmatan itu seringkali justru membuat manusia lalai dan bertindak melampaui batas, sehingga menyebabkan banyak kerusakan di alam semesta. Ketundukan alam semesta yang Tuhan anugrahkan kepada manusia, meniscayakan adanya relasi kuasa yang tidak terbatas. Dalam hal ini, manusia memiliki posisi superior yang sangat kuat, sehingga ia bisa bertindak apa saja terhadap alam yang ia kuasai. Posisi inilah yang berpotensi membuat manusia berlebih-lebihan serta melampaui batas dalam memanfaatkan alam.
Peringatan Tuhan akan Potensi Bencana Alam
Tuhan mengetahui bahwasanya manusia seringkali lalai akibat kenikmatan yang telah Ia karuniakan. Penguasaan alam yang Tuhan berikan kepada manusia, tidak berbuah syukur, namun justru menjadikan dia tamak dan sombong. Oleh karena itu Tuhan memberikan sebuah peringatan. Bahwasanya alam semesta tetaplah ciptaan Tuhan, sehingga Tuhanlah penguasa sebenarnya.
Jika Tuhan kuasa menjadikan manfaat dari alam untuk manusia, maka Tuhan juga berkuasa untuk menjadikan bahayanya. Melalui bencana alam, Tuhan ingin memperingatkan, sudahkah manusia merasa aman?
“Sudah merasa amankah kamu dari Zat yang di langit, yaitu (dari bencana) dibenamkannya bumi oleh-Nya bersama kamu ketika tiba-tiba ia terguncang? Atau, sudah merasa amankah kamu dari Zat yang di langit, yaitu (dari bencana) dikirimkannya badai batu oleh-Nya kepadamu? Kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku.” (QS.Al-Mulk: 16-17, Terj.Kemeng RI 2019)
Sebagian mufasir, seperti Al-Qurthubi dan Al-Baidhawi juga Tafsir Kemenag sendiri mengaitkan ayat tersebut dengan peristiwa terbenamnya Qorun ke dalam bumi serta hujan batu yang menimpa kaum Nabi Luth. Sebagai suatu peristiwa alam yan pernah menimpa umat terdahulu.
Fenomena Likuifaksi Tanah
Namun dalam konteks modern, KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) seorang ulama dan pakar tafsir Indonesia, mengaitkan ayat ini dengan fenomena likuifaksi tanah yang pernah terjadi di beberapa tempat. Likuifaksi bisa menelan apapun yang ada di atasnya, termasuk membenamkan manusia ke dalam bumi.
Ia menjelaskan bahwa ayat ini merupakan peringatan bagi manusia akan potensi bencana alam yang bisa terjadi di mana saja. Jika kebanyakan manusia hanya takut tenggelam ketika berada di laut dan merasa aman saat di daratan, maka ayat tersebut memperingatkan manusia. Dengan likuifaksi, bahkan tanah pun bisa menenggelamkan manusia saat berada di darat.
Dari sini kita bisa mengambil refleksi, bahwa kenikmatan berupa fasilitas alam dan rasa aman tidak seharusnya melalaikan manusia akan posisi dan hakikat dirinya sendiri. Bahwa kekuasaannya terhadap alam hanyalah bagian dari nikmat dan karunia Tuhan. Tuhan bisa saja mencabut bahkan menggantinya dengan bencana, manakala manusia mulai lalai dan bertindak melampaui batas. Baik dalam relasinya dengan Tuhan, sesama manusia, maupun dengan alam itu sendiri.
Banjir gelondongan kayu di Sumatra seakan sedang menegur manusia. Seandainya ada orang yang mengambil manfaat alam dengan berlebihan dan melampaui batas (eksploitasi). Sedang dia merasa aman saat melakukannya, Ingatlah bahwa Tuhan kuasa mengambil kembali semua itu hanya dalam sekejap dan dan dengan cara yang tak terduga.
Perspektif Ecotheologi untuk menjaga bumi
Dalam perspektif Islam, alam merupakan ayat-ayat kauniah. Ia merupakan bentuk kekuasaan Allah yang dapat kita saksikan secara langsung. Dalam Al-Qur’an Allah berulang kali menyebut berbagai hal di alam semesta untuk menunjukan kekuasaan-Nya.
Ayat-ayat tentang alam sering diikuti dengan perintah pengamatan, berfikir, pemanfaatan, hingga pengelolaan. Yang mana semua itu mengarahkan manusia kepada perintah Tauhid, untuk mengakui dan mengesahkan Sang pencipta dan pemelihara alam semesta.
Di sini kita bisa melihat bahwa dalam Al-Qur’an, basis pemanfaatan dan pengelolaan alam semesta adalah Tauhid, yang selanjutnya sering kita sebut dengan ecotheology. Manusia memandang keindahan dan keharmonisan alam sebagai bukti kekuasaan Tuhan.
Mengambil sebagian manfaatnya sebagai bekal beribadah dan beramal, kemudian mengelola dan melestarikanya agar spirit ketauhidan ini bisa terus dirasakan generasi berikutnya. Dengan perspektif ini kita bisa memahami bahwa pelestarian dan pengelolaan alam merupakan bentuk pengamalan tauhid, sebaliknya merusak alam akan mencederai nilai tauhid itu sendiri.
Salah satu hal penting dalam konsep ecotheology adalah peran kekhalifahan manusia di bumi. Tuhan menjadikan manusia di bumi sebagai khalifah. Khalifah sendiri memiliki dua makna, yakni sebagai pemimpin dan wakil. Sebagai pemimpin, karena Tuhan telah menundukkan alam untuk dipimpin manusia. Serta khalifah sebagai wakil, di mana manusia berfungsi sebagai wakil dan perpanjangan “tangan” Tuhan untuk mengelola bumi.
Oleh karena itu, peran manusia sebagai khalifah tidak boleh kita lepaskan dari dua pemaknaan tersebut. Memaknai khalifah hanya sebagai pemimpin, akan membuat manusia cenderung tamak dan sombong. Ia hanya melihat kekuasannya terhadap alam.
Dengan perspektif ini, manusia hanya akan melihat alam sebagai sumber daya. Ia hanya berpikir bagaimana cara mengambil manfaat dari alam sebanyak-banyaknya, tanpa berpikir bagaimana cara merawat keberlangsungannya.
Berbeda jika kita memaknai khalifah dari dua sisi, sebagai pemimpin juga sebagai wakil Tuhan. Maka ia akan memandang kekuasaan sebagai amanah. Ia menyadari ada tugas pengelolaan alam yang Tuhan amanahkan. Amanah itu harus dikelola manfaatnya sekaligus dijaga keberlangsungannya. []










































