Mubadalah.id – Al-Qur’an merupakan kitab suci yang Allah Swt turunkan untuk melakukan kritik dan memberikan batasan-batasan yang menginspirasikan pentingnya transformasi sosial dan pembebasan, baik sebagai manusia, untuk kasus perbudakaan, maupun sebagai manusia dan perempuan dalam kasus praktik poligami.
Batasan kawin empat sendiri, bukan batasan jumlah yang dijelaskan secara rasional dalam al-Qur’an. Ia hanya dijadikan media penjelasan bahwa pada konteks sosial yang seperti itu, pembatasan sangat diperlukan, baik secara kuantitas yaitu empat istri, maupun kwalitas yaitu moralitas keadilan.
Batasan ini diberlakukan untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan, bukan untuk kepentingan laki-laki. Karena itu, al-Qur’an menganjurkan untuk monogami saja, jika dikhawatirkan poligami akan membawa laki-laki berlaku tidak adil, aniaya dan zalim.
Dengan demikian, poligami sebenarnya tidak al-Qur’an anjurkan, melainkan oleh budaya yang pada saat itu masih memberikan kekuasaan lebih banyak terhadap laki-laki daripada perempuan. Tetapi al-Qur’an telah menurunkan kritik tajam terhadap praktik poligami yang terjadi pada saat itu.
Terutama kritik moralitas keadilan yang harus menjadi dasar pertimbangan utama pilihan poligami. Kritik ini yang seharusnya menjadi konsep kunci dalam merumuskan poligami ke depan. Apalagi saat kondisi sosial masyarakat telah berubah, tidak lagi seperti ketika masyarakat Arab terdahulu.
3 Tempat
Perlu kita ketahui, kritik al-Qur’an terhadap praktik poligami dengan dasar moralitas keadilan ada di tiga tempat. Sementara kewenangan poligami jika betul kita pahami sebagai kewenanganhanya berada di satu tempat.
Ketiga tempat itu, pertama pada pembicaraan perlunya berlaku adil terhadap anak yatim sebagai pijakan kewenangan terhadap poligami. Bahwa poligami memiliki resiko besar yang sama seperti pemeliharaan anak yatim.
Jika berlaku tidak adil pada yang pertama, sama seperti berlaku tidak adil terhadap yang kedua. Sama-sama dosa dan berakibat sangat buruk.
Kedua, pada penyebutan moralitas keadilan sebagai syarat kewenangan poligami, jika tidak mampu maka mencukupkan diri dengan satu isteri saja. Keduanya ada di dalam ayat yang ketiga dari surat an-Nisa.
Sementara yang ketiga, disebutkan pada ayat 129 dari surat yang sama, bahwa moralitas keadilan merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan pelaku poligami. Karena itu, disarankan untuk berhati-hati dan cermat dalam memperlakukan para istri.
Penyebutan moralitas keadilan sebanyak tiga kali dalam pembicaraan ayat an-Nisa memastikan bahwa pokok bahasan ayat adalah bukan pada soal kewenangan poligami.
Pada saat yang sama juga memastikan bahwa praktik poligami bukan sesuatu yang ayat-ayat al-Qur’an anjurkan, apalagi menjadi keutamaan dan pilihan Islam. Penegasan ini semestinya menjadi pertimbangan untuk tidak gegabah menyatakan bahwa praktik itu ibadah. []