Mubadalah.id – Munculnya berita terkait wacana penyusunan ‘Rancangan Peraturan Daerah atau Raperda Janda’ yang berasal dari salah satu anggota DPRD di Banyuwangi, banyak menuai kritik dan kecaman dari banyak pihak. Meskipun hanya sebatas wacana dan belum ada draft usulan tertulis mengenai Raperda Janda tersebut. Akan tetapi narasi-narasi yang disampaikan oleh pengusul, dianggap bias gender dan mendiskriminasi perempuan.
Salah satu narasi yang menjadi perdebatan adalah adanya poin yang menganjurkan pria untuk melakukan poligami pada janda, karena tingginya angka perceraian di Kabupaten Banyuwangi. Usulan Raperda Janda ini muncul karena adanya anggapan dari pengusul, bahwa perempuan yang bercerai tidak menemukan arah dan tujuan hidup karena tidak memiliki keahlian, sehingga perlu untuk dilindungi, salah satunya dengan dipoligami.
Apakah Raperda Janda se-penting itu salingers? Untuk memberdayakan perempuan apakah harus menjerumuskannya pada praktek poligami? Padahal, ayat-ayat Al Quran tentang perkawinan akan menggiring kita pada kesimpulan bahwa Islam memberikan kritik yang sangat kuat dan mendetail terhadap poligami, sebagaimana dituliskan oleh Prof. Musdah Mulia dalam Ensiklopedia Muslimah Reformis.
Hal ini juga ditegaskan oleh Kiai Faqihuddin dalam buku Sunnah Monogami, bahwa poligami pada kenyataannya tidak dianjurkan oleh Al Quran, melainkan oleh budaya yang pada saat itu (sebelum Islam hingga Islam turun) masih memberikan kekuasaan lebih banyak kepada laki-laki. Tetapi Al Quran telah memberikan kritik tajam, khususnya mengenai kritik moralitas keadilan pada praktik poligami.
Raperda Janda Bukan Pemberdayaan Perempuan
Alih-alih membuang waktu dan tenaga menyusun Raperda Janda yang menuai banyak kritik. Saat ini, seharusnya pemerintahan baik pusat maupun daerah, lebih mengupayakan untuk memberdayakan perempuan seutuhnya, terlebih bagi Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Anggapan bahwa PEKKA akan lebih berdaya jika dipoligami melalui wacana Raperda ini adalah suatu kesalahan besar.
Tingginya angka perceraian yang ditengarai dapat diatasi dengan poligami melalui wacana Raperda Janda tadi, tentunya disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi sebelumnya. Sehingga yang perlu diupayakan adalah bagaimana memperkuat posisi perempuan atas dirinya sendiri, dan tidak menggantungkan hidup pada laki-laki.
Pertama, memberikan edukasi terkait bahaya perkawinan anak dan pentingnya membangun hubungan dengan prinsip mubadalah, agar rumah tangga baru yang terbentuk lebih berkualitas.
Tingginya angka perceraian salah satunya disebabkan oleh kurang harmonisnya hubungan dalam keluarga, yang biasanya terjadi pada pasangan yang melangsungkan perkawinan di usia anak. Selain berdampak buruk pada hak-hak anak, melangsungkan perkawinan anak adalah bentuk tindak pidana kekerasan seksual, sebagaimana tercantum pada UU TPKS Pasal 10 Ayat (2).
Bimbingan pra nikah yang ditujukan bagi calon pengantin sudah saatnya diintegrasikan dengan nilai-nilai mubadalah. Tidak hanya sebatas mengajarkan bagaimana perempuan menjadi istri salehah saja, akan tetapi juga memberikan edukasi pentingnya kesetaraan dan keadilan dalam berbagi peran antar suami dan istri dalam keluarga. Sehingga beban rumah tangga, tidak hanya menjadi tanggung jawab sebelah pihak.
Kedua, memberikan edukasi terkait hak pendidikan dan akses publik yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Sehingga, meskipun sudah menikah ruang gerak perempuan tidak serta-merta dibatasi.
Setelah tuntas pembagian peran domestik antara laki-laki dan perempuan, hal yang harus diperhatikan selanjutnya adalah menyamakan pandangan antara keduanya, bahwa perempuan juga memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan dan berkarir di ranah publik. Karena, tidak dapat dipungkiri dua hal ini yang kadang menjadi dilemma bagi banyak perempuan untuk melangsungkan pernikahan.
Ketakutan akan stigma publik bagi perempuan yang berkarir dan melanjutkan pendidikan setelah menikah, membuat perempuan semakin dilema dalam menentukan jalan hidupnya, pasca pernikahan. Padahal, jika kita pahami pada dasarnya perempuan tidak memerlukan validasi dari lingkungan atas pilihan dalam hidupnya.
Seperti yang dituliskan oleh Faqihuddin Abdul Kodir, dalam buku Qira’ah Mubadalah, terkait lima pilar penyangga kehidupan rumah tangga, yakni pada pilar ke empat. Bahwa perlu adanya sikap dan perilaku untuk selalu bertukar pendapat dalam memutuskan sesuatu terkait dengan khidupan berumah tangga. Disinilah, perlu dibangun komunikasi antar pasangan agar bisa menyelaraskan tujuan dalam pernikahan mereka.
Pentingnya komunikasi antar suami dan istri disini adalah untuk mendapatkan kesepakatan terkait bagaimana pembagian peran di ranah publik, entah terkait dalam berkarir ataupun melanjutkan pendidikan. Sehingga, perempuan tidak lagi merasa harus mengorbankan mimpinya ketika membangun kehidupan rumah tangga.
Ketiga, terus mengupayakan pemenuhan kuota 30% perempuan di parlemen dan juga di sektor strategis publik lainnya.
Agar upaya pemberdayaan perempuan tidak sebatas wacana dan gerak massa saja, akan tetapi benar-benar diimplemetasikan dalam bentuk pelibatan langsung perempuan di semua sektor pembangunan. Seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh pada saat webinar refleksi Hari Kartini April lalu, bahwa gerakan perempuan di akar rumput, juga harus didorong dengan pelibatan perempuan di jajaran pemangku kebijakan. Keduanya seperti lapisan roti pada sandwich, yang harus saling melengkapi agar menjadi satu kesatuan yang utuh.
Hal ini juga bagian dari upaya, agar tidak lagi muncul wacana-wacana yang justru mendiskreditkan perempuan. Keberadaan perempuan yang memiliki perspektif adil gender, khususnya di ranah parlemen sangat diperlukan. Agar kebijakan dan peraturan yang diterbitkan, lebih berperspektif perempuan dan tidak bias gender.
Tiga hal ini menurut penulis jauh lebih penting untuk diimplementasikan dan dipayakan saat ini, jika melihat latar belakang munculnya wacana ‘Raperda Janda’ yang membuat banyak orang geram. Karena pada dasarnya masih banyak hal lebih penting lain yang seharusnya kita upayakan bersama untuk pemberdayaan perempuan. Bukan ujug-ujug diminta untuk poligami ketika ditinggal pergi oleh suami.
Karena sudah kita ketahui bersama di luar sana banyak perempuan hebat yang menjadi kepala keluarga yang menjalani hidupnya dengan bahagia. Sebab dia telah membentuk dirinya berdaya, tidak bergantung pada laki-laki apalagi dunia, tetapi ia menggantungkan hidup kepada Allah SWT. []