Mubadalah.id – Maura dan Andin adalah dua penyintas di antara banyaknya kasus perkawinan anak di Banyuwangi.
Pada tahun ini, Pengadilan Agama Banyuwangi mencatat ada 693 pengajuan dispensasi kawin hingga bulan November. Dengan rincian 646 di antaranya terkabulkan, 3 ditolak, 1 gugur, 3 tidak dapat diterima, 9 dicabut, dan 31 masih dalam proses di pengadilan.
Kehamilan Remaja Faktor Utama Tingginya Angka Perkawinan Anak
Pada tahun 2024, Banyuwangi ada di urutan ketiga dengan jumlah pengajuan dispensasi terbanyak di Jawa Timur. Posisi pertama dan kedua ditempati Pasuruan dan Kabupaten Malang.
Mayoritas alasan pengajuan dispensasi kawin adalah anak perempuan telah hamil, sebut Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan dan KB Kabupaten Banyuwangi.
Angka ini sebenarnya turun dari tiga tahun sebelumnya. Di mana pada 2021 ada sebanyak 959 pengajuan, 2022 sebanyak 877 pengajuan, dan 2023 ada sebanyak 781 pengajuan.
Akan tetapi jumlah tersebut belum mencakup anak-anak yang menikah siri seperti Maura. Sama halnya dengan pengajuan dispensasi kawin, alasan nikah siri juga karena kehamilan remaja atau kehamilan tidak diinginkan (KTD), budaya, dan takut zina.
Berdasarkan penelitian yang PUSKAPA dan UNICEF lakukan pada tahun 2020, kemiskinan juga menjadi salah satu faktor pendorong perkawinan anak.
Menurut penelitian yang sama, pada 2018 ada sebanyak 1,2 juta perempuan menikah di rentang usia anak, dengan lebih dari 60 ribu di antaranya berusia di bawah 15 tahun.
Dengan kata lain, 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun di Indonesia kawin sebelum usia 18 tahun. Angka ini meliputi perkawinan yang tercatat maupun tidak oleh negara.
Indonesia memiliki UU Nomor 16/2019 yang mengatur batas usia pernikahan untuk perempuan 19 tahun dan laki-laki 21 tahun di mana sebelumnya batas usia pernikahan untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
Undang-undang tersebut disahkan sebagai upaya menekan angka perkawinan anak. Kendati demikian masih ada celah melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2019 untuk mengajukan dispensasi kawin.
Meningkatkan usia minimum perkawinan tidak semerta-merta dapat mengatasi berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi perkawinan anak.
Upaya Menekan Angka Perkawinan Anak
Henik Setyorini, Kepala Dinas Sosial dan Pemberdayaan Perempuan dan KB (Dinsos PPKB) Banyuwangi, mengatakan pihaknya telah membuat Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Kemenag untuk tidak mudah memberikan dispensasi kawin kecuali untuk alasan kehamilan pada anak.
Henik juga menceritakan pihaknya sempat mengajukan untuk menghapus aturan terkait dispensasi kawin, namun tidak bisa mereka laksanakan. Sehingga dari Dinsos PPKB mengupayakan pencegahan dari tingkat paling bawah untuk memperketat aturan pengajuan dispensasi kawin.
Saat ini untuk mengajukan dispensasi pemohon perlu melampirkan surat rekomendasi dari psikolog dan rekam medis dari Dinas Kesehatan terkait kesehatan reproduksinya.
Kepala Perwakilan UNFPA Indonesia, Hassan Mohtashami mengatakan bahwa dispensasi perkawinan dapat memperpanjang praktik perkawinan anak yang kita ketahui berbahaya dan meningkatkan risiko yang anak perempuan hadapi. Termasuk kekerasan terhadap perempuan, komplikasi kesehatan, dan kemiskinan.
Secara bersamaan, pemerintah dan masyarakat sipil juga menyadari bahwa tetap terdapat risiko perkawinan anak berlangsung secara diam-diam, tanpa tercatat, dan sebagai akibatnya, perempuan dan anak-anak dari perkawinan tersebut rentan tidak memiliki dokumen kependudukan dan identitas hukum yang memadai.
Ketiadaan dokumen ini juga bisa menghalangi akses mereka pada layanan dasar dan publik yang penting bagi kesejahteraan mereka.
Sebagai upaya mengatasi hal tersebut, Dinsos PPKB Banyuwangi juga mengupayakan sejumlah program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait bahaya perkawinan anak utamanya perkawinan siri.
Dinsos PPKB menggandeng sejumlah organisasi perempuan untuk melakukan edukasi pencegahan perkawinan anak mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga ke sekolah-sekolah, terutama ke daerah yang tingkat perkawinan anaknya tinggi.
Pentingnya Pendidikan Kesehatan Seksual dan Reproduksi
Hassan Mohtashami mengungkapkan bahwa perkawinan anak memiliki sejumlah dampak buruk dan berbahaya bagi anak-anak, utamanya anak perempuan. Menikahkan anak karena kehamilan remaja bukan merupakan solusi.
Komplikasi akibat kehamilan dan persalinan adalah penyebab utama kematian atau kondisi medis serius seperti fistula pada anak perempuan remaja. Sehingga kita memerlukan upaya yang mengatasi masalah hingga ke akarnya.
“Kehamilan remaja umumnya bukan hasil pilihan yang disengaja, anak-anak perempuan ini sering kali tidak memiliki suara dalam keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Sebaliknya, kehamilan remaja adalah akibat dari kurangnya akses terhadap pendidikan, informasi, atau layanan kesehatan. Kita perlu melakukan segala upaya untuk mencegah kehamilan remaja. Ketika seorang anak perempuan hamil, hidupnya bisa berubah drastis. Pendidikan mereka mungkin terhenti, prospek pekerjaan berkurang, dan mereka menjadi lebih rentan terhadap kemiskinan dan pengucilan,” ungkap Hassan.
Pendidikan dan akses layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi menjadi sebuah upaya yang sangat penting untuk kita lakukan guna memutus rantai perkawinan anak.
Selama anak-anak tidak mengetahui resiko dari aktivitas seksual yang mereka lakukan, maka kehamilan remaja dan perkawinan anak akan terus terjadi.
Perlunya Kerja Sama Antar Lembaga
Hassan mengatakan bahwa penting bagi remaja mendapatkan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Proses berbasis kurikulum untuk mengajarkan dan mempelajari aspek kognitif, emosional, fisik, dan sosial dari kesehatan reproduksi, memungkinkan remaja melindungi dan memperjuangkan kesehatan, kesejahteraan, dan martabat mereka dengan memberikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang mereka perlukan.
Hasil dari Global Early Adolescent Study-Indonesia (GEAS-ID) menunjukkan bahwa pengetahuan remaja awal rendah terkait pencegahan kehamilan dan HIV, serta layanan dan program ramah remaja. Hanya 44,7 persen remaja yang mengetahui bahwa hubungan seksual pertama dapat menyebabkan kehamilan.
Hanya 31,5 persen remaja yang mengetahui bahwa kondom dapat mencegah kehamilan dan hanya 18,5 persen remaja perempuan yang mengetahui di mana mendapatkan kontrasepsi. Pendidikan Kesehatan Seksual dan Reproduksi yang kita anggap tabu akan membuat anak-anak menjadi semakin rentan.
Mereka tidak mampu menimbang resiko dalam setiap perilakunya, di antaranya kehamilan. Kemampuan berpikir kritis dan literasi digital juga menjadi penting untuk anak bisa menyaring informasi dan konten dari mengakses media sosial, misalnya konten pornografi.
Upaya lain yang bisa kita lakukan adalah melibatkan remaja dalam program pemberdayaan berbasis komunitas. Masyarakat bisa membuat ruang kreativitas bagi kaum muda. Hal itu akan membuat anak merasa memiliki masa depan dan mendorong mereka untuk menunda perkawinan atau aktivitas seksual sehingga mengurangi resiko kehamilan.
Perkawinan Anak dalam Islam
Budaya patriarki membuat anak perempuan seringkali kita anggap kurang berharga dari anak laki-laki. Beberapa permohonan dispensasi kawin yang mengajukan adalah orang tuanya, karena takut anaknya berdosa atas zina. Padahal tidak ada aturan dalam agama yang menganjurkan perkawinan anak.
“Menikah itu harusnya untuk membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. Sehingga kedua belah pihak harus berada di usia yang mampu untuk membangun tujuan rumah tangga yang tersebutkan di QS. Ar Rum. Kalau tujuannya menghindari zina ya jangan berzina, kalau takut dosa ya jangan melakukan dosa,” ungkap Dr. KH. Faqihudin Abdul Kodir atau yang akrab disapa Kang Faqih.
Kang Faqih menjelaskan bahwa tidak tepat untuk memaksakan perkawinan anak dengan alasan takut berzina. Jika orang tua takut anaknya berzina maka seharusnya mereka memberikan edukasi bukan melakukan perkawinan anak apalagi perkawinan siri.
Menyoal Kawin Siri
“Nikah siri itu biasanya salah satu pihaknya tidak siap bertanggungjawab secara penuh sebagai suami atau istri, biasanya laki-laki yang tidak siap sebagai suami. Nikah siri biasanya dilakukan hanya untuk menghalalkan hubungan seksual, tidak ada tujuan membangun rumah tangga,” jelas Kang Faqih.
Perkawinan anak akan menjadikan anak-anak perempuan sebagai korban, mereka menjadi orang tua atau ibu saat masih usia anak. Sesuatu yang membuat seseorang terjebak pada kekerasan dan kemudaratan adalah jalan menuju haram.
Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon itu juga menjelaskan, harusnya seluruh masyarakat ikut mencegah perkawinan anak. Termasuk tokoh agama setempat yang masih sering menjadi penghulu dalam perkawinan anak secara siri. Para tokoh agama harusnya sadar bahwa pernikahan memiliki tujuan besar bukan hanya menghalalkan hubungan intim.
Menikah adalah mewujudkan kebaikan dan menghindari segala keburukan, itu yang tidak terwujud dalam perkawinan anak.
“Kalau usianya belum mampu, biologis, sosial, finansial, dan moral juga belum mampu maka itu akan menjerumuskan orang pada kerusakan. Menjerumuskan orang pada kerusakan adalah haram,” tegas Kang Faqih.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) juga mengeluarkan fatwa tentang pernikahan anak. Berikut bunyi Fatwa KUPI tentang perkawinan anak:
“…pernikahan anak terbukti membawa kemadharatan sehingga wajib hukumnya mencegah. Ada pun pihak yang mempunyai tanggung jawab melakukan pencegahan pernikahan anak adalah orang tua, keluarga, masyrakat, pemerintah, dan negara.”
Jika merujuk pada fatwa yang KUPI keluarkan, maka perkawinan anak melanggar prinsip hifzh al-nasl (perlindungan keluarga).
Anak-anak belum mampu membangun sebuah keluarga. Jika anak perempuan hamil, maka ia akan beresiko tinggi pada kesehatan dan kematian. Jika ia melahirkan, maka ia tidak akan mampu menjadi orang tua yang arif dalam mengurus dan mendidik anak.
Sehingga fatwa KUPI mewajibkan semua pihak mulai dari orang tua hingga Negara untuk melindungi anak-anak agar tidak kita nikahkan di usia anak. []