Mubadalah.id – Saya heran pada suami yang melarang istrinya bekerja membantu meringankan beban nafkah keluarga. Niat mulia ingin menguatkan sendi-sendi ekonomi yang secara sosial adalah tugas suami, malah dikerangkeng. Tidak boleh bergerak dengan dalih “saya masih mampu bekerja.” Keheranan saya makin menjadi karena faktanya si suami belum mampu memenuhi kebutuhan keluarga.
Sebagian perempuan yang “geli” ingin bergerak mengembangkan potensi diri, yang tentunya ingin menyejahterakan rumah tangga, mereka bertanya-tanya, sampai mana batasan hak kewajiban dan tugas suami istri? Apakah semua hal yang berkenaan dengan ekonomi keluarga adalah kewajiban istri? Tidak boleh ada intervensi istri sama sekali?
Rumah tangga merupakan sebuah intitusi terkecil dalam ruang lingkup sosial. Layaknya sebuah institusi, ada kepala dan anggota untuk membuat kesepakatan-kesepakatan guna mencapai kesejahteraan bersama. Namun demikian, sejatinya dalam keluarga tidak ada tugas-tugas rigid bagi kepala ataupun anggota keluarga.
Sebagaimana kepala yang bertugas mengontrol dan menyetujui (baca: tanda tangan) tanpa turun tangan ikut bekerja, sedangkan anggota yang bekerja keras, lembur dan memeras keringat. Faktanya, institusi rumah tangga sejahtera adalah mereka yang berasaskan ta’āwun (saling membantu dalam kebaikan) sehingga siapa yang mampu dialah yang berperan.
Indikator Keluarga Sejahtera
Menurut BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) ada banyak indikator keluarga sejahtera (sakinah), secara umum adalah terpenuhinya sandang (pakaian layak), pangan (makanan sehat), dan papan (tempat tinggal). Untuk memenuhi ini semua tidak ada tugas khusus untuk anggota keluarga, misalnya, bapak yang bertugas memenuhi ketiganya dan ibu yang mengurus serta merawatnya.
Namun dalam rumah tangga ada hak dan kewajiban yang mesti kita terima dan kita lakukan demi terwujudnya kesejahteraan (sakinah). Sebagaimana tujuan menikah dalam Alquran (QS. Ar-Rum: 21). dalam sekian literature fikih yang penulis baca, hak dan kewajiban itu diklasifikasikan menjadi 3; 1) Hak bersama, 2) hak istri, dan 3) hak suami.
Hak Bersama
Hak mendasar dari terjadinya akad pernikahan adalah legalitas berhubungan suami istri utamanya hubungan biologis yang sebelumnya diharamkan (QS. Al-Ma’arij: 29) selanjutnya hak lainnya mengikuti secara otomatis, seperti hak mendapat perlakuan baik, hak waris, hubungan kemertuaan, dan dua keluarga menjadi satu.
Hak Suami dan Hak Istri
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيم
“Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Baqarah: 228)
Ayat ini menurut Al-Qurthubi menegaskan 3 hal; pertama, hak-kewajiban istri seimbang dengan hak dan kewajiban suami. Karenanya, Ibn ‘Abbās –sahabat yang didoakan langsung oleh Nabi Allahumma faqqihhu fiddīn wa ‘allimhu at-ta’wīl– berkata “Aku berhias untuk istriku sebagaima yang ia lakukan untukku”. Istri punya hak untuk menerima perlakuan baik, tidak disakiti, sebagaimana suami juga punya hak demikian dari istri.
Kedua, dawuh Ibn ‘Abbas “aku berhias” adalah permorma/penampilan yang layak dan bijaksana, sesuai dengan kepribadian dan lingkungannya. Terutama yang membuat istrinya senang. Ketiga, ayat وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ mengindikasikan bahwa lelaki memiliki status, posisi, kedudukan sosial di atas perempuannya (istrinya) karena memiliki akal dan power untuk memberi menguatkan sendi-sendi ekonomi.
Tafsiran ini yang seringkali kita salahpahami sebagai tameng mendiskriminasi perempuan. Akibatnya lelaki –sebagian atau kebanyakan- dengan congkak memperbudak perempuan. Padahal Ibn ‘Abbas menafsiri ayat ini
الدَّرَجَةُ إِشَارَةٌ إِلَى حَضِّ الرِّجَالِ عَلَى حُسْنِ الْعِشْرَةِ، وَالتَّوَسُّعِ لِلنِّسَاءِ فِي الْمَالِ وَالْخُلُقِ، أَيْ أَنَّ الْأَفْضَلَ يَنْبَغِي أَنْ يَتَحَامَلَ عَلَى نَفْسِهِ
Alih-alih diskirminasi terhadap perempuan, ayat ini sebagai desakan pada lelaki untuk bersikap baik/ma’ruf, bermurah-murah pada perempuan dalam hal rejeki dan sikap baik. Artinya ayat ini justru warning/peringatan keras pada lelaki. Bukan sebaliknya. Sebab jika bicara tentang kewajiban rumah, sejatinya istri tidak wajib memasak, menggiling, mencuci dan semacamnya. justru suami yang wajib menyediakan pelayan untuk melakukan itu.
Kesalingan dalam Tugas Suami Istri
Namun rumah tangga bukan tempat saling melempar tugas. Maka ulama-ulama fikih menyimpulkan beberapa kewajiban untuk istri untuk memenuhi hak suami. Seperti sikap taat, istri tinggal di rumah, istri melayani shahwat suami, merawat rumah dan menjaga anak. Dan kewajiban suami untuk memenuhi hak istri, seperti memberi makan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak. Dan kewajiban lainnya yang mungkin anda temukan di kitab-kitab fikih salaf.
Ini sekedar gambaran formalitas tugas suami istri, bahwa sebagai timbal balik kebaikan suami yang telah memenuhi hak istri, maka istri juga harus melakukan kebaikan yang sepadan. Sebagaimana istri punya hak material (sandang, pangan, papan) dan immaterial (sikap baik dan pemenuhan seksual) dari suami, maka istri juga berlomba-lomba melakukan kebaikan dengan memenuhi hak-hak suami secara utuh.
Bukankah laki-laki dan perempuan adalah khalifah Allah yang sama menerima perintah berlomba-lomba dalam kebaikan?
Mayoritas ulama, imam Abu Hanifah, imam Malik dan imam asy-Syafii mengatakan bahwa pernikahan adalah akad legalias relasi suami istri. Bukan perbudakan ataupun jual beli manfaat. (al-Ahwal asy-Syakhshiyah Abu Zahrah: 166)
Syekh Wahbah az-Zuhaili, ulama kontemporer asal Syuria mengatakan, asas dalam pembagian hak dan kewajiban adalah ‘urf dan fitrah kemanusiaan. Sedangkan prinsipnya adalah hak yang berbanding lurus dengan kewajiban. Wallahu A’lam bisshawāb. []