• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Apa Salahnya Menjadi Perempuan Pintar dan Mandiri?

Jadi, apapun jenis kelaminnya baik perempuan maupun laki-laki, mereka berhak mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan menjadi pintar serta mandiri, guna saling mempertahankan hidup. Selain itu, tidak selamanya orang tua, pasangan atau orang lain akan selalu ada dalam kehidupan kita.

Nur Indah Fitri Nur Indah Fitri
19/11/2020
in Kolom, Personal
0
Film Cinta Suci Zahra seolah menanamkan stigma kalau Perempuan Berpendidikan Tinggi Sulit Menemukan Jodoh

Film Cinta Suci Zahra seolah menanamkan stigma kalau Perempuan Berpendidikan Tinggi Sulit Menemukan Jodoh

273
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Terlahir sebagai anak dan cucu perempuan pertama bukanlah kemauan pribadi, jelas itu adalah takdir. Dan sayangnya menjadi perempuan harus diribetkan dengan segala tuntutan dan nyinyiran ini itu. Perempuan harus bisa segalanya, seperti multitasking gitu, tapi tetep aja dalam proses pemenuhan tuntutan itu akan selalu ada nyinyiran yang mengiringinya. Jadi serba salah kan?

Menjadi perempuan pintar, salah. Menjadi perempuan mandiri, dinyiyiri. Menjadi perempuan bodoh, eh tambah dihujat. Menjadi perempuan yang gak bisa apa-apa dan bergantung terus, justru dibilang nyusahain. Lah terus situ maunya apa? Ngerecokin hidup orang doang? Aishh emang kalau dengerin netijen ala bu Tejo, gak bakal ada habis-habisnya.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar udah sering banget denger kalimat, “ngapain sekolah kalo ujung-ujungnya juga bakal di dapur”. Bahkan saat memutuskan akan lanjut study S2, salah satu anggota keluarga besar nyeletuk, “Anak perempuan kalau pinter, laki-laki gak mau dekat-dekat”. Lah perkara lanjut study mah buat cari ilmu, bekal menghadapi fase kehidupan selanjutnya, kalau ditengah masa study ketemu jodoh ya lumayan dapat bonus. Lantas kenapa selalu disangkut pautkan dengan jodoh? toh jodoh udah ada yang ngatur. Kalo kata temen mah gini, “jangan sibuk mengurusi wilayah-Nya”

Apalagi sejak kecil emang udah ditanamkan sikap mandiri sama orang tua, “kalau masih bisa berdiri di kakinya sendiri, ya lakukan sendiri jangan terlalu merepotkan orang lain”. Tentunya mendidik anak untuk memiliki karakter mandiri itu baik. Eh tapi hal itu masih mendapat cuitan dari beberapa temen karena status kelamin perempuan, “jadi perempuan, jangan kebangetan mandirinya nanti suami lu gak guna.” Jadi heran kan, sebenarnya apasih yang dikhawatirkan dari perempuan pintar dan mandiri? ya meskipun saya gak pintar dan mandiri amat, hehehe…

Mungkinkah yang ditakutkan dari perempuan pintar dan mandiri adalah takut nanti akan menjadi sulit diatur dan mudah membangkang? Atau khawatir nanti dia bakal menuntut banyak hal? Atau bahkan takut harga diri sebagai maskulin akan ternodai jika memiliki pasangan yang lebih pintar dan mandiri?

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Apalagi di zaman sekarang kan musim pernikahan yang berakhir cerai dengan gugatan dari pihak perempuan, katanya sih karena perempuannya terlalu mandiri. Loh justru karena kemandiriannya, perempuan bisa berdaya untuk bertahan hidup sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Dengan begitu, jika pernikahannya memiliki hubungan yang tidak sehat bersama pasangannya, maka perempuan akan selamat dari tekanan mental yang diterimanya.

Perempuan yang tidak bisa mandiri dan bergantung kepada pasangannya akan rentan mendapatkan kekerasan seksual oleh pasangannya atas ketidakberdayaannya dalam melawan. Sehingga apabila terus-menerus bertahan dalam ketidakbahagiaan pernikahan, bisa menjadi penyebab tumbuhnya karakter yang suka marah dan menggunjing hidup orang lain sebagai hiburan dirinya untuk melampiaskan ketidakbahagiaan tersebut. Dan tentunya hal itu juga akan berdampak pada tumbuh kembang anak-anaknya.

Dan baru-baru ini sempat mendengar pernyataan dari seorang ibu di tempat kerja saya, yang menanggapi masalah rumah tangga anaknya seperti ini, “Emang baiknya kalau perempuan itu sih gak usah terlalu pintar, biar gak egois dan nurut sama keputusan suaminya”. Auto cengo mendengarnya, bukankah itu juga hak seorang istri untuk ikut bersuara dalam mengambil keputusan demi kemaslahatan keluarganya?

Menjadi perempuan yang berpendidikan tinggi memang kerap kali disalahpahami, padahal sebenarnya banyak prinsip-prinsip rumah tangga yang dibangun dan keputusan yang diambil secara bersama-sama. Apalagi pernikahan itu bukan bertujuan untuk mendominasi dengan melemahkan salah satu pihak, akan tetapi saling membangun kemaslahatan bersama dengan saling berbuat baik.

Jadi, gak ada yang salah dengan perempuan pintar dan mandiri, justru dia akan meringankan beban pasangan dengan saling memberikan support untuk mengembangkan potensi. Dan jika mengalami masalah, bisa saling sharing menemukan jalan keluarnya bersama-sama. Yang salah itu, yang gak mau belajar tentang kesetaraan dan keadilan gender, makanya suka nyinyirin hidup orang buat hiburan.

 Oh tidak, kalian gak salah kok, karna kalian akan merasa wajar dan gak ada yang salah dari celotehan-celotehan kalian, yang bisa jadi semakin melemahkan perempuan. Sebab, kita sama-sama produk dari sistem patriarki yang sudah mendarah daging turun temurun. Dan sudah salah kaprah meletakkan posisi perempuan pada inferior, sedang laki-laki berada pada superior. Padahal dalam al-Qur’an jelas diterangkan bahwa posisi perempuan dan laki-laki adalah sama yang membedakan hanyalah ketaqwaannya.

Jadi, apapun jenis kelaminnya baik perempuan maupun laki-laki, mereka berhak mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan menjadi pintar serta mandiri, guna saling mempertahankan hidup. Selain itu, tidak selamanya orang tua, pasangan atau orang lain akan selalu ada dalam kehidupan kita.

Seperti yang dikatakan oleh Emha Ainun Najib atau yang akrab disapa Cak Nun, “Kita harus punya banyak jurus, agar tidak mudah masuk angin. Kita pun harus luas ilmu agar mendapatkan kapasitas-kapasitas substansial dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan.” []

Tags: KesalinganKesehatan MentalKesetaraanPendidikan Perempuanperempuan
Nur Indah Fitri

Nur Indah Fitri

Perempuan seribu mimpi sejuta sambat yang tengah belajar memanusiakan manusia

Terkait Posts

Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Tambang

    Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID