Mubadalah.id – Anggota Majlis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI) Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan, sebagian orang masih beranggapan bahwa malam Jumat merupakan malam yang diyakini sebagai waktu yang tepat bagi pasangan suami istri untuk memadu kasih dan berhubungan intim.
Akan tetapi, hal tersebut, menurut Kang Faqih, sesungguhnya tidak tepat, tidak ada waktu khusus dalam Islam mengenai aktivitas seksual antara pasutri.
Malam apapun, kata Kang Faqih, boleh dan baik. Siang, pagi, atau sore. Tidak harus malam Jumat. Yang penting tidak pada waktu-waktu yang diharamkan.
Yaitu ketika ihram haji dan umrah, pada saat sedang berpuasa, dan hubungan penetrasi seks pada saat istri sedang menstruasi. Sisanya, hubungan seks adalah baik, bahkan ibadah.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Sahihnya, aktivitas seks suami dan istri disebutkan sebagai “sedekah”, atau sesuatu yang bisa mendatangkan pahala dan kebaikan (Sahih Muslim, no. hadits: 2376).
Sesuatu yang mendatangkan pahala, Kang Faqih menegaskan, tentu saja disebut sebagai ibadah. Tentu saja bukan ibadah dalam arti ritual antara hamba dan Tuhan, atau ibadah murni (ibadah mahdah).
Tetapi praktik antara hamba dengan hamba (mu’amalah) yang mendatangkan pahala, sehingga disebut pseudo-ibadah (ibadah ghairu mahdah).
Islam memang mengajarkan bahwa semua amal perbuatan antar manusia yang mendatangkan kebaikan dan kenyamanan adalah sedekah dan ibadah. Berkata baik, senyum, berbagi sesuatu, membuang duri dan sampah, bahkan berhubungan intim dan segala aktivitas foreplay sebelumnya.
Hubungan seks antara suami istri yang saling mencintai, tentu saja, mendatangkan banyak kebaikan dan manfaat. Seperti ketenangan jiwa, kenyamanan, kekuatan ikatan emosional, dan tentu saja cinta kasih. (Rul)