Mubadalah.id – Dalam kehidupan berumah tangga kadang ada saja persoalan. Namun dalam upaya mengatasinya, istri banyak yang merasa tidak bisa ikut berperan. Bahkan pendapatnya acap kali dianggap tidak diperlukan. Bagaimana dengan Nabi? Apakah Nabi pernah meminta pendapat istri?
Seperti halnya sahabat perempuan saya, yang baru saja menikah beberapa minggu lalu. Dia mengeluhkan sikap suaminya yang akhir-akhir ini selalu mengambil keputusan secara sepihak, tanpa meminta pendapatnya.
Sikap suami seperti itu banyak dianggap wajar. Selama ini, di dalam keluarga, suami dianggap sebagai pemegang kekuasaan seutuhnya, satu-satunya. Apapun yang menjadi keputusan suami, maka semua anggota keluarga, termasuk istri harus menaatinya.
Baca juga: Hubungan Suami-Istri, Bukan Hubungan Majikan-Budak
Padahal jika melihat tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah untuk menciptakan keluarga yang bahagia. Keluarga yang penuh kasih sayang, saling mengingatkan, menghormati, melengkapi dan saling berbagi. Sikap yang menafikan peran pasangan di dalam keluarga justru bertentangan dengan tujuan pernikahan itu sendiri.
Maka, memang sebaiknya istri maupun suami satu sama lain selalu berkomunikasi dengan baik tentang apapun yang berkaitan dengan kehidupan keluarganya. Tujuannya tentu saja untuk menjaga keharmonisan dan perasaan pasangannya.
Seperti halnya Nabi ketika menerima wahyu pertama, beliau merasa itu adalah beban yang teramat berat. Ada keraguan dalam benak Nabi tentang kemungkinan bahwa yang datang bukanlah Jibril, melainkan jin. Dan beliau tidak simpan masalah yang amat berat itu sendirian.
Baca juga: Perempuan Pemberi Nafkah Masa Nabi
Setelah menenangkan diri, beliau meminta pendapat kepada istrinya, Siti Khadijah. Lalu dengan sangat tenang dan bijak, Siti Khadijah berkata meyakinkan:
”Tidak, sayang, demi Allah, Allah pasti tidak akan membiarkanmu direndahkan. Engkau suka menyambung tali persaudaraan, meringankan beban orang lain, memberi makanan orang yang miskin, menjamu tamu, dan menolong orang yang terhina karena menegakkan kebenaran.”
Subhanalah betapa indahnya pemandangan tersebut. Saat kedua pasangan suami istri bermusyawarah tentang sesuatu yang terjadi pada salah satu pasangannya. Kisah ini, menurut saya, mengajarkan pada kita untuk selalu berkomunikasi secara baik dengan siapapun pasangan.
Sejalan dengan itu, dalam beberapa tulisannya, KH. Faqih Abdul Qodir mengingatkan bahwa salah satu sikap saling menghormati antar sesama manusia baik antara istri dengan suami, anak dengan orang tua, majikan dengan buruh adalah membangun prinsip keadilan relasi.
Baca juga: Bahagia Berumah Tangga
Karena ketika relasi itu timpang maka akan ada salah satu manusia yang terzalimi. Hubungan istri dan suami yang baik akan terwujud saat relasinya tidak timpang. Keduanya setara, bahkan memberikan sikap aktif berupa kesalingan di antara keduanya.
Hal ini sejalan dengan Islam yang senantiasa mengajarkan untuk selalu berbuat baik, saling memberi manfaat, saling meringankan beban, menghormati dan saling berkasih sayang.
Intinya, seseorang yang menganggap pendapat, pikiran dan tindakan pasangannya tidak bermanfaat, tidak bisa diajak bersama-sama mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi dalam rumah tangga, itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Juga tidak sejalan dengan apa yang telah diajarkan Nabi.[]