Mubadalah.id – Selama ini yang terekam dalam benak banyak orang hanyalah izin suami. Tetapi jarang sekali, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali, mendengar suami wajib izin ke istri. Jika kita merujuk pada kitab-kitab hadis, maka di sana tercatat ada dua teks. Satu tentang izin suami oleh istri dan satu lagi izin istri oleh suami. Yang pertama soal istri yang kalau mau puasa sunnah harus izin suami (Sunan Abu Dawud, no. 2461). Yang kedua soal suami yang kalau mau coitus interuptus (‘azl) harus izin istri (Sunan Ibn Majah, no. 217). Hadis pertama terkenal bahkan ditafsirkan melebar ke semua hal. Hadis kedua tidak terdengar, tidak ada yang peduli, bahkan ada ulama yang tidak mau menggunakan hadis tersebut dan menafsirkannya ke arah yang berbeda.
Azl atau coitus interruptus adalah praktek hubungan intim seorang laki-laki, dimana ia mencabut kemaluannya sebelum orgasme, sehingga air maninya keluar di luar vagina. Praktek ini biasanya dilakukan untuk menghindari kehamilan. Dalam teks ini, Nabi Saw menuntut suami untuk meminta izin pada istrinya sebelum melakukan praktek ini dilakukan. Menurut Ibn ‘Abd al-Barr (w. 464/1071), sebagaimana diceritakan Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam Fath al-Bari, izin ini diperlukan karena aktivitas seks tidak hanya menjadi hak suami tetapi juga hak istri. Karena praktek azl bisa mencederai keinginan istri untuk menikmati seks. Dus, menikmati aktivitas seks adalah hak bersama, sehingga istri juga berhak menuntut untuk memperoleh hak ini.
Jika pernikahan dipahami sebagai pertemuan dua pihak, laki-laki dan perempuan, untuk membangun dan menikmati kehidupan secara bersama, maka kesalingan dalam hubungan seksual adalah sesuatu yang niscaya. Prinsip kesalingan ini sudah ditegaskan dalam al-Qur’an, dengan ungkapan ‘suami adalah pakain istri dan istri adalah pakaian suami’ (al-Baqarah, 2: 187). Jadi, sangat tidak beralasan jika adalah suami yang masih egois dan individualis dalam hal aktivitas seks dengan istrinya. Dia hanya meminta dan menuntut pelayanan seks. Dan dia akan berhenti cepat begitu dirinya sudah memperoleh kepuasan. Dia membiarkan istrinya tidak terpuaskan, bahkan menolak jika diminta dan dituntut.
Anehnya, egoisme laki-laki ini seringkali diatasnamakan pada fatwa-fatwa agama dalam fiqh klasik yang memandang hak suami adalah seks dan hak istri adalah nafkah. Dalam ungkapan lain, kewajiban suami adalah memberi nafkah dan kewajiban istri adalah melayani seks suami. Tentu saja pandangan ini harus kita sudahi jika kita yakin bahwa pernikahan Islami adalah ikatan antara dan untuk dua pihak, laki-laki dan perempuan, untuk saling melayani dan saling menikmati kehidupan perkawinan. Kesalingan ini meniscayakan untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Kalimat izin di kedua hadis tersebut, jika dipahami secara komprehensif dan resiprokal, adalah ungkapan tentang prinsip kesalingan. Satu pihak dalam sebuah pasangan pernikahan harus memperhatikan keinginan dan kebutuhan pihak lain. Jika hadis pertama berbicara mengenai kebiasaan ibadah perempuan yang bisa mengganggu kebutuhan seks suaminya, maka hadis kedua berbicara mengenai kebiasan laki-laki yang individualis yang hanya mementingkan aktivitas seksnya untuk memuaskan dirinya semata. Keduanya persoalan perilaku seks antara suami istri, yang seharusnya saling memperhatikan kebutuhan pasangan, saling melayani, dan saling memuaskan.
Jika persoalan izin ini dilebarkan ke hal-hal lain untuk istri kepada suami, maka hal yang sama juga seharusnya untuk suami kepada istri. Karena izin adalah bukanlah soal lisensi, tetapi lebih pada pemberitahuan kepada pasangan, agar bisa mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi di depan. Jika istri harus (baik) memberi tahu suaminya tentang apa yang akan dilakukan atau kemana dia pergi, maka hal yang sama suami juga harus (baik) memberi tahu istrinya. Pemberitahuan inilah yang disebut izin. Artinya, suamipun wajib untuk izin istri. (FAK)