Mubadalah.id – Salinger kaum Mubadaliyah…! Tahukah kalian bahwa hari Asyura bisa menjadi penentu jalannya roda kehidupan rumah tangga yang lebih baik kedepannya?
Hal itu berangkat dari kesunahan hari Asyura yang kurang populer ketimbang kesunahan puasa dan menyantuni anak yatim, yaitu membahagiakan keluarganya sendiri.
Adapun hadisnya semisal diriwayatkan oleh Jabir sebagaimana tercatat dalam kitab Syarah Shahih al-Bukhari Ibnu Batthal juz 4 halaman 145.
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَسَّعَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ
“Dari Abi Zubair, dari Jabir. Ia berkata bahwa pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang membahagiakan dirinya dan keluarganya di hari Asyura maka Allah akan melapangkam hidupnya di sisa tahun tersebut.”
Kendatipun hadis ini nilainya lemah tetapi jalan periwayatannya cukup banyak sehingga menguatkan satu sama lain. Terlepas dari itu, Hadis ini bisa dipahami bahwa agar hidupnya seorang hamba bahagia ke depan, Allah menyaratkan untuk mengistimewakan dan membahagiakan keluarganya di hari Asyura. Baru Allah akan melapangkan ke depannya.
Oleh sebab itu, membahagiakan keluarga di hari Asyura memiliki keunggulan tersendiri bahkan – menurut Syekh Ali Jum’ah – kesunahan membahagiakan keluarga adalah yang paling istimewa.
ومن أهم هذه الوظائف: اجتماع الأسرة ، واجعلوها فرصة للقاء العائلة
“Yang paling urgen dari kesunnahan hari Asyura yaitu berkumpulnya (kebahagiaan) keluarga dan menjadikan hari Asyura sebagai kesempatan untuk pertemuan keluarga.”
Mengapa paling istimewa? Ya, sebagaimana saya katakan di muka. Keistimewaan membahagiakan keluarga di hari Asyura menjadi titik tolak dan penentu lancarnya perjalanan rumah tangga setahun ke depan.
Pertanyaannya, apakah melapangkan di hari Asyura saja? Tentu tidak, hanya saja hari itu semacam menjadi pintu pembuka bagi seseorang untuk perjalanan rumah tangganya ke depan yang berkelindan dengan kelapangan hidupnya.
Artinya, orang yang rumah tangganya berjalan mulus maka sudah pasti jalan hidupnya tentram walaupun badai mengombang-ambing menerjang.
Pemaknaan Lafal al-Tausi’ah
Terkait pemaknaan tausi’ah acap kali bermakna nafkah materil yang lebih di hari Asyura. Itu pemaknaan yang mainstrem, jika bukan konvensional.
Sedangkan maksud yang paling cocok dari kata itu sesungguhnya adalah kebahagiaan dan kesenangan, sehingga memberikan nafkah materil hanya salah satu di antara yang membuat senang. Syekh Ali Jum’ah berkata.
وتكون التوسعة بإدخال السرور على أهلك
“Dan ada apa melapangkan itu dengan cara memasukkan kebahagiaan atas keluarganya.”
Kebahagiaan tersebut dengan mempertimbangkan kesenangan keluarga. Boleh jadi, keluarga satu lebih suka jalan-jalan bersama keluarga, keluarga yang lain lebih suka hadiah dan semacamnya. Dengan demikian, pemaknaan seperti ini lebih cair dan luwes. Tidak mesti nafkah yang lebih.
Karena nafkah materi tak ada nilainya bagi perempuan yang mandiri ekonominya – sebagaimana sudah kaprah di era saat ini. Berbeda dengan masa lampau, yang mana perempuan akses dalam keuangan terbatas.
Eksperimen Abdullah ibnu Mubarak: Asyura penentu jalannya rumah tangga yang lebih Baik
Hadis yang menganjurkan untuk mengistimewakan keluarga di hari Asyura juga sudah terbukti melalui eksperimen-eksperimen dari kalangan ulama.
Sebut saja, ulama Abdullah bin Mubarak berulang-ulang melakukan eksperimen terkait hadis Nabi tersebut sebagaimana Syekh Ali Jum’ah menuturkan kisahnya.
“Tuan kami, Abdullah bin al-Mubarak – termasuk kalangan salafus salih – bertutur. Saya melakukan eksperimen selama bertahun-tahun (kebenaran dari hadis Nabi yang mengatakan bahwa membahagiakan keluarga di hari Asyura bisa membuat bahagia di sisa tahunnya).
Maka aku mengalami kebenaran dari hadis itu. Artinya, ia melapangkan kepada anak-anaknya di hari Asyura pada suatu tahun, maka Allah Pun melapangkan dirinya di sisa tahun tersebut. Di tahun berikutnya, aku tidak melakukannya maka aku mengalami kesulitan ketimbang tahun sebelumnya.
Abdullan ibnu Mubarak pun melakukan secara berulang-ulang untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang kuat dan kondisinya terus demikian. Maka, Abdullah bin Mubarak terus melakukan kebaikan kepada keluarganya sehingga ia senantiasa mendapat kebaikan dan keberkatan.
Selain kisah tersebut, Syekh Ali Jum’ah sendiri juga melakukan hal yang sama selama 43 tahun sebagaimana pengakuan beliau.
وأنا شخصيا جربته 43 سنة فوجدته صحيحا والحمد لله رب العالمين
“Saya sendiri telah membuktikan selama 43 tahun yang mana aku merasakan kebenarannya. Alhamdulillah.”
Terakhir, saya menyayangkan ketidak populeran ajaran Islam untuk membahagiakan keluarga di hari Asyura di kalangan muslim Indonesia. Padahal, ajaran ini sangat besar manfaatnya yang membawa Syekh Ali Jum’ah kepada kesimpulan amalan sunah yang paling istimewa di hari Asyura. Sebab, membahagiakan keluarga di hari Asyura bisa menjadi penentu mulusnya perjalanan rumah tangga setahun ke depan. []