• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Aurat dalam Kitab Safinah: Belajar dari Kearifan para Ulama dan Guru-guru di Kampung

Badriyah Fayumi Badriyah Fayumi
22/01/2020
in Publik
0
kitab, safinah
2.8k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Tiba-tiba aku membayangkan, bagaimana ya seandainya penulis kitab Safinatunnajah (kitab fiqih dasar yang sangat populer di Indonesia) menyampaikan ijtihadnya tentang batas aurat yang ada di kitab ini di zaman sekarang, di ruang publik, lalu diviralkan melalui medsos?

Di kitab itu, penulis, Syaikh Salim bin Samir al Hadrami menjelaskan 4 macam aurat di sub bab Syarat-syarat Shalat:

Pertama, aurat laki-laki secara mutlak (yang merdeka maupun budak, di dalam shalat maupun di luar shalat) dan aurat “al-amat” (budak perempuan) di dalam shalat. Aurat keduanya sama, yakni antara pusar dan dengkul. Itu artinya “al-amat” boleh sholat dengan kepala, leher dan betis terbuka.

Kedua, aurat perempuan merdeka di dalam shalat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Kalau ini sih dijalankan di mana-mana.

Ketiga, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan di luar shalat di hadapan laki-laki ajnabi (non mahram) adalah seluruh tubuh. Itu artinya pakai cadar.

Baca Juga:

Menyusui Anak dalam Pandangan Islam

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

KB dalam Pandangan Riffat Hassan

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

Keempat, aurat perempuan merdeka dan budak perempuan di luar shalat di hadapan laki-laki mahramnya dan sesama perempuan adalah antara pusar dan dengkul. Ini berarti kepala, leher, betis bahkan dada boleh terlihat.

Penjelasan ini sudah ada dan dipelajari ratusan tahun di pesantren-pesantren, madrasah-madrasah dan majelis-majelis taklim di Indonesia. Belum pernah terdengar kehebohan atau tuduhan yang tidak-tidak atas kitab ini.

Paling banter guru yang mengajar kitab ini menyampaikan pendapatnya, “perlu diketahui, ini hasil ijtihad ulama beberapa abad silam. Tidak semua bisa dan tepat diterapkan saat ini.”

Untuk ketentuan pertama, budak perempuan sudah tidak ada. Semua manusia sudah merdeka. Maka saat ini tidak perlu ada pembedaan yang merdeka dan budak. Ini untuk pengetahuan bersama dan bukti bahwa pandangan tentang batasan aurat dalam fikih itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial yang ada saat ijtihad itu keluar.

Untuk ketentuan ketiga, tentang aurat perempuan di luar shalat, di Indonesia ini kita juga tidak perlu pakai cadar yg menutup wajah. Kita bisa merujuk pendapat lain yang kita anggap lebih tepat dan maslahah.

Nah untuk ketentuan keempat, yakni saat bersama dengan sesama perempuan atau laki-laki mahram kita juga sebaiknya tidak membuka dada dan hanya menutup antara pusar dan dengkul. Kurang patut dan kurang sopan. Dalam bertindak kita tidak cukup hanya menerapkan fikih, tapi juga perlu mengedepankan adab.

Alhasil, meski dari 3 pendapat ini yang kita pakai hanya satu, yaitu ketentuan yang ketiga, kita tetap menghargai empat ketentuan yang disampaikan muallif (penulis kitab) karena itulah hasil ijtihad sesuai konteks sosialnya saat itu. Boleh tidak diikuti tapi tidak usah menghujatnya.

Jangan pula karena tidak sependapat dalam satu hal lantas menolak orangnya, semua pemikiran dan karyanya. Kita akan tetap pelajari kitab ini karena banyak sekali hal penting dan mendasar yang bisa kita jadikan pedoman.

Bab aurat ini adalah contoh perbedaan ijtihad dalam soal furu’iyyah (cabang). “Jangan jadi pemantik dosa karena tidak setuju lalu menebar hujatan dan merasa paling benar. Paham?” Begitulah pertanyaan retoris sang guru di akhir penjelasannya. Dan saat menutup pengajiannya, sang guru pun tak lupa mengajak murid-muridnya, “yuk kita bacakan al-Fatihah kepada muallif, semoga Allah merahmati beliau dan semoga ilmu kita bermanfaat.”

Begitulah biasanya para ulama (laki-laki dan perempuan) dan guru-guru di kampung menjelaskan dan menyikapi hasil ijtihad yang berbeda secara bijaksana. Dengan kedalaman ilmu dan ketawadhuan diri, mereka tidak pernah mencap sesat atau menghujat karena menyadari itu hasil ijtihad.

Para ulama dan guru-guru kampung itu juga paham adab ikhtilaf (berbeda pendapat), sehingga jika ada pendapat seorang ulama tentang satu hal yang ia tidak setuju, ia hanya tidak ambil pendapat yang tidak disetujui saja, tanpa menghujat orangnya dan tetap obyektif melihat karya dan pendapat-pendapat ulama itu dalam hal-hal lainnya.

Tiba-tiba aku rindu dengan suasana keilmuan yang penuh kearifan dari para ulama dan guru-guru yang demikian. Juga para murid dan pembelajar yang menerapkan akhlakul karimah saat menyikapi perbedaan pendapat (khilafiyah). Masih bisakah kini kita berbeda pendapat dengan penuh kearifan dan adab?[]

Badriyah Fayumi

Badriyah Fayumi

Ketua Alimat/Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Bekasi

Terkait Posts

Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menyusui Anak dalam Pandangan Islam
  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version