Mubadalah.id – Dalam ajaran syari’at Islam, ada perintah menutup bagian-bagian tubuh tertentu, yang dalam bahasa fikih disebut aurat. Hikmah dari syari’at penutupan ini. Seperti yang disebutkan ulama fiqh bermacam-macam:
Pertama, untuk melestarikan citra kemuliaan manusia yang membedakannya dari binatang. Kedua, menjaga diri dari kemungkin terjadinya gangguan (fitnah), merawat kesehatan tubuh. Ketiga, yang utama membuat seseorang menjadi leluasa secara sosial hidup berinteraksi dengan yang lain.
Dasar hukum utama penutupan aurat ini adalah surat an-Nur ayat 30 dan 31, serta al-Ahzab ayat 33 dan 59. Berangkat dari ayat-ayat ini, lahir beberapa penjelasan dan aturan yang menentukan batas-batas aurat, perempuan dan laki-laki.
Jika dicermati, ayat-ayat tersebut lebih menekankan pada anjuran-anjuran moral yang bersifat umum, seperti perintah menahan pandangan, tidak mempertontonkan perhiasan dan menutupkan kerudung ke bagian tubuh yang terbuka, serta tidak dengan sengaja bertingkah menggiurkan (tabarruj). Untuk lebih jelas kita kutip ayat dari surat An-Nur tersebut:
“Katakanlah kepada para laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan; karena yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (30). Katakanlah juga kepada para perempuan yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan, dan hendaklah tidak menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak. Dan hendaklah menutupkan kain kerudung ke dada mereka”. (31).
Redaksi bahasa ayat-ayat ini bersifat umum, karenanya muncul keragaman pandangan ulama tafsir dalam menafsirkannya. Dalam kitab tafsir al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, karya al-Qurthubi, ada beragam pandangan mengenai arti ayat tersebut. Misalnya, maksud wa la yubdina zinatahunna (mempertontonkan perhiasan).
Apakah yang dimaksud dengan perhiasan? Apakah sejenis kalung, giwang dan gelang? Atau tubuh perempuan itu sendiri merupakan perhiasan? Apakah wajah termasuk perhiasan tubuh yang harus ditutup atau tidak ? Bagaimana dengan telapak tangan dan kaki?
Dasar Hukum
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh mengenai ayat-ayat aurat, perlu mengacu pada dasar hukum yang lain, di antaranya hadis-hadis Nabi Saw. Para ulama memiliki keragaman pandangan, dalam menilai kualitas hadis maupun dalam memahaminya.
Hadis yang sering menjadi dasar menentukan batas aurat perempuan terdapat dalam Jami’ al-Ushul, kitab hadis yang cukup lengkap dan masyhur karya Ibn Al-Atsir.
Di antaranya, Hadis riwayat Abu Dawud, at-Turmudzi dan Ibn Majah. Dari Aisyah ra, Nabi Saw bersabda:“Allah tidak menerima shalat perempuan kecuali memakai kain penutup kepala”.
Hadis ini sering menjadi dasar untuk mengatakan kepala perempuan adalah aurat yang harus ia tutup di dalam shalat, apalagi di luar shalat. Tetapi, dalam kritik sanad kita menemukan ragam penilaian. At-Turmudzi dan Ibn Hibban, menganggap hadis ini sahih (otentik), sementara al-Hakim menganggap hadis ini memiliki kelemahan (lihat: az-Zai’li, Nashb ar-Rayah, juz II, h. 295).
Dalam menginterpretasikan hadis ini ada beragam pendapat, karena lafalnya tidak eksplisit. Mayoritas ulama fiqh berpendapat, hanya kepala perempuan yang dianggap aurat, dan wajah tidak termasuk kepala. Yang lain menganggap di luar shalat, wajah perempuan termasuk kategori kepala yang merupakan aurat yang juga wajib ditutup. Pandangan lain menganggap wajah sebagai aurat, tetapi dengan mengecualikan dua kelopak mata. []