Dalam beberapa kali pengajian, penulis sempat bertanya kepada jamaah apa itu nusyuz dan siapa yang nusyuz? Pada umumnya jawaban jamaah senada. Nusyuz adalah meninggalkan rumah tanpa pamit dan pelakunya adalah istri. Biasanya penulis bertanya lebih lanjut. Apakah suami tidak bisa nusyuz? Ditanya demikian, biasanya jamaah tampak diam dalam bahasa tubuh penuh tanya dan keraguan.
Dialog singkat di atas menunjukkan betapa alam pemikiran umat Islam, termasuk muslimah, dipenuhi dengan pandangan yang tidak utuh tentang bagaimana Al-Qur’an memandang satu persoalan, dalam hal ini nusyuz. Tak heran jika kemudian ada suami yang sengaja membuat istrinya tidak tahan di rumah agar ada alasan dia lepas tanggung jawab karena istrinya dianggap nusyuz.
Misalnya, membawa selingkuhan atau istri yang dinikahi di bawah tangan ke rumah. Istri tidak tahan, lalu meninggalkan rumahnya sendiri. Karena suami berpandangan bahwa istrinya nusyuz, maka tanpa rasa berdosa ia biarkan istrinya menderita. Kedzaliman seperti ini sering terjadi di semua kelas sosial. Sangat menyedihkan.
Penyempitan Makna Nusyuz
Tanpa menafikan faktor tabiat dan nafsu suami yang tega dan mau menang sendiri, salah satu penyebab penting keadaan di atas adalah karena ayat tentang nusyuz dipahami secara sempit, tidak utuh dan manipulatif. Nusyuz istri dalam QS. an-Nisa’ ayat 34 terus diulang-ulang dibaca dan diajarkan dengan pemahaman sedemikian rupa. Di sisi lain ayat yang menyatakan nusyuz suami, yakni ayat 128 surat yang sama, seolah tersembunyi. Dibaca dalam tadarus, namun tidak banyak diurai dan dijelaskan dalam pengajian, kajian, nasihat perkawinan, atau konsultasi keluarga.
Akibatnya, terjadi penyempitan makna. Nusyuz dipahami sebagai tindakan istri yang tidak taat, dan bentuknya meninggalkan rumah tanpa izin. Ini tidak hanya ada dalam pemahaman orang awam, melainkan terjadi juga dalam praktek peradilan saat hakim menangani kasus perceraian. Istri yang mengajukan gugat cerai atau digugat cerai oleh suaminya, dan ia meninggalkan rumah karena tak tahan menjadi korban KDRT, tak diberikan hak nafkahnya oleh hakim. Alasannya, istri nusyuz. Tak dilihat lagi apakah itu keluar rumah akibat tindakan suami yang sudah tidak manusiawi. Praktek peradilan yang demikian masih banyak terjadi.
Makna Nusyuz
Manipulasi makna nusyuz yang berakibat ketidakadilan mengharuskan kita semua memahami kembali makna nusyuz sesuai paparan al-Qur’an. Dalam al-Qur’an nusyuz istri dan suami sama-sama disebutkan. Nusyuz istri disebutkan dalam QS. an-Nisa ayat 34 “…dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka… dst.” Nusyuz suami dalam QS. an-Nisa’ ayat 128 “Dan jika istri khawatir suaminya nusyuz atau berpaling …..dst.” para mufassir menjelaskan bahwa nusyuz adalah semua tindakan meninggalkan kewajiban dan tanggung jawab.
Nusyuz istri bisa berupa keluar rumah tanpa izin yang menyebabkannya meninggalkan kewajiban rumah tangga. Namun bisa juga bentuk lain, seperti selingkuh atau tidak mau berhubungan badan dengan suami tanpa alasan apapun. Nusyuz suami bisa berupa banyak hal. Tidak memberi nafkah lahir maupun batin, istri ditinggal begitu saja tanpa kabar, istri tidak diperlakukan dengan baik, tidak dinafkahi, namun tidak juga cerai. Bisa juga dalam bentuk lain, semisal melakukan KDRT atau selingkuh.
Memenuhi Rasa Keadilan
Pemahaman nusyuz yang komprehensif akan mengantarkan kita mampu memberi solusi, nasihat atau putusan pengadilan yang qur’ani dan adil karena didasarkan pada kesalahan obyektif dan siapa yang melakukannya, bukan semata berdasar siapa yang meninggalkan rumah. Jika istri meninggalkan rumah secara zalim, padahal suaminya sudah berusaha menjadi suami yang baik, maka ia bisa dikategorikan nusyuz.
Namun jika ia melakukan hal itu demi menyelamatkan diri dari tindakan suami yang membahayakan jiwa dan raganya, tentu yang nusyuz dalam kasus ini adalah suami. Siapa yang nusyuz, dialah yang harus menanggung konsekuensinya. Ini tentu lebih memenuhi rasa keadilan. Hanya dengan memahami ayat dan makna nusyuz secara komprehensif, masalah dan konflik suami-istri bisa didudukkan dan diselesaikan secara proporsional. Nasihat, solusi dan putusan pengadilan yang dihasilkan pun insya Allah akan lebih memenuhi rasa keadilan. Bukankah ini manifestasi Islam yang rahmatan lil ‘alamin, adil, ramah dan melindungi laki-laki dan perempuan. []