Mubadalah.id – Perempuan sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang dilahirkan sebagai khalifah di muka bumi, seringkali mendapatkan akses berekspresi lebih rendah dibanding dengan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh doktrinasi kodrat bagi perempuan sebagai konco wingking laki-laki. Kodrat juga seringkali digunakan sebagai alasan untuk membatasi gerak perempuan di ruang publik.
Membatasi akses pendidikannya dengan alasan dapur adalah tujuan akhirnya, melarangnya menjadi pemimpin karena emosionalnya yang sering tidak terkontrol. Membatasi jam malamnya dengan alasan dapat menimbulkan potensi kekerasan seksual. Bahkan tidak boleh terlalu pintar karena menyebabkan insecuritas bagi laki-laki. Lantas bagaimana sebenarnya batas dan makna kodrat bagi perempuan?
Kodrat Perempuan Menurut Nyai Badriyah Fayumi
Menurut Nyai Badriyah Fayumi, pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an Wal Hadits yang juga berkedudukan sebagai ketua Majelis Musyawarah KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), masyarakat saat ini masih mencampuradukkan antara kondrat dan adat. Dampak patriarki yang melekat di mayoritas penduduk Indonesia, seringkali mendiskreditkan peran perempuan dengan dalih kodrat.
Kodrat menurut beliau adalah sesuatu yang given atau pemberian dari Tuhan, dan kita sebagai manusia tidak memiliki hak opsional untuk itu, dan tidak bisa ditukar antara satu jenis kelamin dengan kelamin lainnya. Laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang berbeda, sesuai dengan fungsionalitasnya sebagai laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka contoh kodrat bagi perempuan adalah haid, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui, dan ciri fisik lain yang melekat pada perempuan. Sedangkan kodrat bagi laki-laki adalah memiliki jakun, dan ciri fisik lain yang melekat pada laki-laki. Contoh kodrat lainnya adalah laki-laki dan perempuan yang dilahirkan dari orang tua masing-masing. Sesuatu yang merupakan hak preoregatif Tuhan, dan kita tidak memiliki hak untuk memilih dan menuntut itulah yang disebut dengan kodrat.
Laki-laki tidak bisa menuntut untuk bisa melahirkan dan tidak bisa menggantikan peran perempuan untuk melalui nifas. Pun demikian dengan perempuan, tidak bisa menuntut untuk memiliki jakun. Kedua juga tidak bisa protes karena dilahirkan oleh pasangan suami istri yang saat menjadi orang tuanya. Jika boleh memilih, mungkin semua muslim ingin dilahirkan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan hal-hal lain seperti kepemimpinan perempuan, menuntut ilmu bagi perempuan, larangan perempuan keluar di malam hari tanpa melihat apa yang ia lakukan, menuntut perempuan melayani suami dengan totalitas meskipun tidak mendapatkan haknya bukanlah bagian dari kodrat. Namun sebuah adat yang dikodratkan sebagai akibat dari struktur masyarakat patriarki.
Selama urusan publik dan domestik tersebut bisa dilakukan oleh keduanya, memiliki kapasitas yang mumpuni, dan bisa berkompetisi untuk memberikan yang terbaik untuk masyarakat disekitarnya maka tidak dapat diartikan sebagai kodrat.
Memahami Kodrat dalam Perspektif al-Quran dan al-Hadits
Pemaknaan Nyai Badriyah Fayumi terhadap kodrat, yang disampaikan saat pembukaan Kelas Intensif Ramadan 20 Hari bersama 20 Ulama Perempuan Nusantara ini, sejalan dengan ruh kesetaraan yang tercantum dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang artinya adalah sebagai berikut:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Sudah jelas dinyatakan bahwa yang paling mulai disisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Bukan yang paling bisa masak, yang paling mampu melayani suami, atau yang paling banyak berdiam diri di rumah. Namun standarnya adalah jelas yaitu yang paling bertaqwa diantara laki-laki dan perempuan.
Pendapat tersebut juga diperkuat dengan dalil mengenai bagaimana seharusnya relasi laki-laki dan perempuan yang tercantum dalam QS. At-Taubah ayat 71 yang artinya adalah sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Berdasarkan ayat diatas maka laki-laki dan perempuan seharusnya menjadi mitra kerja atau partner dalam melakukan kebaikan. Tidak tunduk antara satu dengan yang lainnya, tidak saling menuntut untuk melayani satu sama lain, dan tidak menaruh surga yang satu pada surga yang lain. Karena surga dan neraka juga merupakan hak mutlak yang dimiliki Tuhan. Sebagai sesama makhluk-Nya yang penuh dengan kekurangan, tak layak bagi kita untuk menilai surga dan nerakanya orang lain dari perspektif indra manusia yang terbatas.
Relasi terbaik antara laki-laki dan perempuan adalah menjadi penolong antara satu dengan yang lain. Saling berkerjasama berbuat kebajikan, dan bersama-sama mencegah kemungkaran, sesuai dengan kapasitas masing-masing. Memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Tidak hanya menuntut haknya namun juga wajib menunaikan kewajiban.
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam urusan domestik dan publik ini juga sering dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, dan menjadi Sunnah yang semestinya kita kejar bersama sebagaimana sunnah lainnnya. Dalam beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim disebutkan bahwa Nabi selalu melibatkan perempuan dalam halaqoh keilmuwan. Artinya, Nabi tidak melarang perempuan untuk menuntut ilmu dan memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Istri tercinta beliau Sayyidah Khadijah adalah saudagar yang kaya raya dan berperan di ranah publik sebagai pebisnis yang handal. Nabi juga sering mengajak Hasan dan Husein bercanda atau dalam bahasa kita momong cucunya. Membuktikan bahwa urusan domestik juga bagian dari tanggungnjawab laki-laki.
Maka perdebatan mengenai domestikasi perempuan dan segala stereotype tentang kodrat perempuan berdasarkan adat harus dikurangi sedikit demi sedikit. Dan memulai bersinergi bersama untuk menciptakan kemanfaatan seluas-luasnya bagi masyarakat sekitar. []