Mubadalah.id – Gender menjadi isu yang hangat dan ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Berbagai seminar, studi Pendidikan dan narasi gender terus digaungkan oleh para pegiat gender . Selain menjadi topik yang krusial, persoalan gender sangat penting kita ulas. Hal ini karena berkembangnya zaman dan teknologi, mendesak peran gender untuk sama-sama memainkan peran penting dalam kehidupan bermasyarakat. Lantas apakah itu gender, bagaimana al-Qur`an berbicara mengenai gender, dan bagaimana argumen al-Qur`an terhadapnya?
Asal-usul Gender dan Pemaknaannya
Kata gender berasal dari bahasa Inggris, Gender yang berarti “jenis kelamin”. Mengutip Dr. Nasaruddin Umar dalam bukunya Argumen Kesetaraan Gender yang menyimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep dalam mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari sudut pandang sosial dan budaya. Mengecualikan definisi biologis yang selama ini kita pahami.
Berbeda dengan istilah seks yang lebih banyak mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi biologis. Penggunaan istilah gender ini untuk membaca perbedaan laki-laki dan perempuan dari lingkup budaya yang melatarinya. Bukan pada hal faktor genetik. Seorang anak yang lahir dari rahim orang tuanya, otomatis menanggung beban gender secara alamiah. Seorang laki-laki akan menanggung sebagaimana budaya laki-laki. Sebaliknya, perempuan akan menanggung beban budaya sebagaimana perempuan yang kita lihat selama ini.
Dengan kata lain, identitas gender tidak semata-mata kita tentukan oleh atribut biologis, tetapi atribut biologis melahirkan beban gender. Dari sinilah lahir teori nature (peran laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor biologis).
Dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat yang menganut perbedaan gender, terdapat nilai dan budaya yang membedakan peran laki-laki dan perempuan. Di mana Laki-laki dan perempuan seolah dipaksa menaati aturan “budaya” atau memiliki perasaan gender (gender feeling) dalam masyarakat. Atau kita sebut teori nurture (peran laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor budaya). Sehingga setiap mereka yang menyalahi norma, nilai, aturan atau perasaan tersebut akan mendapatkan resiko di dalam masyarakat.
Predikat laki-laki dan perempuan seolah-olah memiliki simbol status. Seorang laki-laki kita simbolkan dengan kejantanannya. Sedangkan perempuan kita simbolkan dengan feminimisme atau kelembutannya. Maka peran gender tidak berdiri sendiri, tetapi juga berasal dari identitas dan karakteristik yang masyarakat berikan. Pada akhirnya, beban dan peran gender tidak terbatas pada bentuk fisik-biologis saja tetapi juga nilai budaya sosial masyarakat.
Identitas Gender dalam al-Qur`an dan Pergulatan Pemaknaannya
Al-Qur`an menggunakan nama-nama atau simbol dalam mengungkap identitas gender atau jenis kelamin seseorang. Al-Qur`an memakai simbol-simbol atau istilah dalam menyebut gender. Istilah-istilah tersebut adalah al-Rijal dan al-Nisa, al-Dzakar dan al-Untsa, al-Mar’u/al-Imra’u dengan al-Mar’ah/al-Imra’ah. Kemudian al-Qur`an juga menyebut gelar status yang menggambarkan jenis kelamin seperti suami (zauj) dan istri (zaujah), ayah (al-ab) dan ibu )al-um), serta anak laki-laki (al-ibnu) dan anak perempuan (al-bintu).
Artinya, al-Qur`an mengenal identitas dan simbol gender dengan beberapa kata di atas. Perlu kita garis bawahi, tidak semua simbol bermakna identitas tetapi bisa saja suatu struktur kebahasaan seperti lafal abi dan umi. Keduanya tetap tergambarkan dengan dua orang yang memiliki peran yang sama dalam membina anak. Sekali lagi, perbedaan identitas atau struktur sosial merupakan masalah genetik atau konstruksi budaya. Adanya relasi kuasa (power relation) yang laki-laki pertahankan secara turun-temurun.
Pemahaman ilmiah dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin menimbulkan perdebatan panjang. Bukan hanya kalangan ilmuwan tetapi juga para teolog. Sebab penafsiran mereka sangat penting dalam membentuk pola pikir masyarakat. Terkadang, para teolog menafsirkan al-Qur`an secara objektif sesuai dengan konstruksi budaya yang ada dalam masyarakat. Terkadang pula, konstruksi sosial juga terbangun atas landasan pemahaman teks al-Qur`an. Semisal persepsi Al-Kitab terhadap tiga hal pokok untuk perempuan.
Pertama, perempuan (Hawa) diciptakan dengan tujuan untuk melengkapi kebutuhan laki-laki (Adam) di Surga. Kedua, perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Hal ini mengesankan perempuan menjadi subordinasi laki-laki. Ketiga, perempuan sebagai penyebab jatuhnya manusia dari surga ke bumi. ISeakan perempuan adalah sebagai penyebab dosa warisan. Persepsi ini membentuk wacana bahwa perempuan memang tidak pantas setara dengan laki-laki.
Respon dan Prinsip Kesetaraan Gender dalam al-Qur`an
Al-Qur`an tidak menyebut secara rinci tentang peran pembagian laki-laki dan perempuan. Perspektif gender dalam al-Qur`an mengacu pada nilai-nilai universal. Al-Qur`an yang cenderung mempersilahkan laki-laki dan perempuan untuk bebas menggunakan hak-haknya dalam memilih peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan.
Al-Qur`an tidak membebankan peran gender secara mutlak. Tetapi bagaimana beban gender itu memudahkan manusia memperoleh kehidupan yang mulia yang sama, di dunia dan akhirat. Ketertinggalan suatu kelompok atas lainnya tidak disebabkan oleh faktor pemberian (given) dari Tuhan. Melainkan faktor pilihan (ikhtiyar) atas hidupnya sendiri. Sehingga faktor jenis kelamin tidak menjadi sebuah hambatan.
Jika kita tarik ke belakang, al-Qur`an merupakan kalam Tuhan yang turun abad ke-7 sebagai respon budaya atau tradisi bangsa Arab saat itu. Jika menelisik respon-repon atau dialektika al-Qur`an dengan bangsa Arab yang berbentuk tahmil, tahrim dan taghyir, maka kita akan menarik kesimpulan bahwa al-Qur`an sangat menjunjung tinggi martabat perempuan. Sekali lagi, pemahaman al-Qur`an yang seolah-olah memprioritaskan peran laki-laki dari perempuan belum tentu mewakili seluruh substansi al-Qur`an.
Bangsa Arab pra-Islam, hidup dengan perempuan sebagai keterpurukan. Sistem strata dan tatanan sosial seperti membunuh bayi perempuan, banyaknya perbudakan, praktik poligami, perempuan sebagai harta warisan yang dapat kita wariskan sebagaimana harta benda, dan bentuk lainnya. Di mana kondisi tersebut menggambarkan perempuan tidak berharga.
Kemudian Islam datang membawa rahmat dan pelan-pelan merespon, serta mengangkat harkat martabat perempuan. Yakni dengan penghapusan perbudakan, pembatasan poligami, hak menuntut talak atau ketentuan dalam warisan, dan masih banyak hak lainnya.
Kehadiran Al-Qur’an Membawa Rahmat
Al-Qur`an hadir membawa rahmat dan kabar gembira bagi pemeluknya. Dalam ayat-ayat al-Quran pun, terdapat prinsip-prinsip kesetaraan gender, di antaranya ; pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama berposisi sebagai hamba. Sebagaimana dalam QS. Al-Zariya {51} ; 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.
Semua manusia diciptakan, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai tugas yang sama, yaitu beribadah. Kadar yang membedakan hanyalah ketakwaan. Sebagaimana QS. Al-Hujurat {49} ; 13 :
اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Kedua, laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi khalifah di bumi. Sebagaimana QS. Al-Baqarah {2} ; 30 :
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki tugas yang sama. Yaitu bertanggungjawab atas kekhalifahan di bumi. Sebagaimana hal nya pertanggungjawaban sebagai seorang hamba.
Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial. Seorang anak yang akan lahir dari rahim, sebelumnya telah melakukan perjanjian dengan Tuhan. Sebagaimana tersebut dalam QS. Al-A’raf {7} ; 172 :
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”
Mengucap Ikrar Ketuhanan yang Sama
Dengan demikian, seharusnya perempuan tidak memiliki rasa malu dan memupuk rasa percaya diri, sebab sejak awal laki-laki maupun perempuan sama-sama mengucap ikrar ketuhanan yang sama.
Keempat, Adam dan Hawa sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Yaitu sebagaimana penggambaran al-Qur`an terhadap keduanya, di mana Adam dan Hawa diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga dalam QS. Al-Baqarah : 35. Kemudian keduanya mendapat godaan setan yang sama dalam QS. Al-A’raf 20. Lalu, keduanya sama-sama memakan buah khuldi sehingga berakibat turun ke bumi. Sebagaimana tercantum dalam QS. Al-A’raf ; 22.
Terakhir, laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi. Dalam QS. Ali Imran {3} ; 195 tertulis bahwa laki-laki dan perempuan yang beramal saleh akan mendapat balasan yang sama yaitu surga. Dan masih banyak lagi ayat yang membahas kesetaraan gender ini dalam spirit yang diusung al-Qur`an.
Salah satu spirit al-Qur`an adalah terciptanya keadilan. Sehingga al-Qur`an tidak mentolerir penindasan dalam bentuk apapun. Baik terhadap sesama manusia, maupun makhluk hidup lainnya. Jika terdapat hasil penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka penafsiran tersebut terbuka untuk kita perdebatkan. []