• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Bagaimana Hukum Menikah Tanpa Wali dan Saksi?

Imam Nakhai Imam Nakhai
10/04/2020
in Hukum Syariat
0
143
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Di tengah pandemi Corona ada saja kawan bertanya “Bagaimana nikah tanpa wali dan tanpa saksi? “. Mungkin saja sebagai upaya social distancing, upaya jaga jarak, karena kalau nikah rame rame kemungkinan besar dibubarkan. Ya udah kawin berdua aja. Enak! enak berdua, Mati! Ya mati berdua. Mungkin gitu mikirnya.

Sebelumnya saya juga dapat “pengaduan” dari seseorang yang tinggal di belahan Indonesia paling barat sana. Sambil menangis ia bercerita bahwa ia dinikahi dan saat ini telah dikarunia 4 anak. Namun ke empat anaknya satupun tidak ada yang memiliki “akte lahir”.

Karena iya dinikahi “menurutnya” secara “agama”, alias tidak dicatatkan. Menurut penuturan istri, sejak awal memang tidak ada keinginan dari suami untuk mencatatkan perkawinannya, dan mengaktekan kelahiran putra putrinya. Masalahnya setelah ia diajak suami pindah (maaf sebut daerah) ke Aceh sana, ia ditinggal alias dicerai langsung talak tiga. Maka jadilah ia “gelandangan” di negeri orang bersama beberapa putranya.

Kembali pada pertayaan kuno di atas, sesungguhnya kalau merujuk ke kitab kitab fiqih tidak sulit menemukan jawaban yang meng “iya” kan dan yang mengharamkan. Tinggal menurut Kitab apa dan menurut Imam siapa. Gitu aja.

Jika seorang kawin tanpa wali dan tanpa saksi, alias berdua saja, dan pasti tidak tercatatkan, dengan berdasar pada “pendapat Imam” tertentu kemudian setelah itu si suami mininggalkan istrinya, apalagi jika telah memiliki anak (seperti kasus di atas), maka saya yakin sang Imam yang dirujuknya akan menangis tersedu sedu, karena pendapatnya digunakan untuk mencari kepuasan seksual dan mendhalimi perempuan.

Baca Juga:

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Itulah dampak “Nikah Sirri”, nikah sembunyi sembunyi yang tidak dicatatkan. Contoh kasus di atas adalah fenomena gunung es, tampak sedikit namun banyak terjadi di masyarakat. Bagaimana hukum perkawinannya? Saat ini saya menyakini bahwa Nikah Sirri, tampa wali tampa saksi, tidak dicatatkan adalah “haram”. Sebab Faktanya sering menelantarkan perempuan dan anak anaknya.

Lho kan ini bukan “zina”? Kok haram.
Memang yang haram “hanya zina”. Menyakiti orang apalagi yang lemah (dha’if) dan dilemahkan (mustad’afin) juga haram, menelantarkan istri dan anak anak juga haram, menceraikan tanpa alasan yang kuat adalah dhalim dan haram. Bahkan bisa lebih besar dosanya dari zina itu sendiri.

Dalam konsep Usul Fiqih, haram dari satu sisi dibagi dua, ada yang haram/muharram Li dzatihi dan haram/muharram Li Ghairihi. Haram Li dzatihi adalah sesuatu yang diharamkan karena barang atau prilaku itu sendiri mengandung “mafsadah-kerusakan” dalam dirinya. Sedang Haram li ghairihi adalah sesuatu yang diharamkan buka karena barang atau perbuatan itu mengandung “mafsadah-madharrat”, akan tetapi ia berpotensi berdampak merugikan dan membahayakan pada diri sendiri dan orang lain.

Konsepnya begitu, tapi seorang bisa beda menentukan mana yang haram lidzatihi dan haram lighairihi. Biasanya ahli Usul fiqih mencontohkan muharram/haram lidzatihi dengan memakan bangkai, meminum minuman keras, berzina, mencuri dan hal lain yg menghancurkan kebutuhan dasar manusia (dharuriyyat).

Sedang haram li ghairihi di contohkan dengan “melihat aurat perempuan atau aurat laki laki, shalat dengan pakaian atau tempat curian, jual beli di hari jum’at menjelang pelaksanaan jum’at, dan lain-lain. Melihat aurat laki laki atau perempuan pada dasarnya tidak membahayakan, namun bagi orang yang hatinya sakit, kotor, penuh nafsu, ia bisa membahayakan. Olehnya ia diharamkan bukan karena melihatnya, melainkan berpotensi membahayakan.

Apa dampak perbedaan kedua Haram itu?
Bedanya, suatu yang diharamkan lidzatihi tidak boleh dilakukan kecuali dalam kondisi “dharurat” yang mengancam lima kebutuhan dasar manusia. Sedang haram lighairihi boleh dilanggar atau dilakukan kalau ada “hajah-kebutuhan”. Sebab itu, laki laki boleh melihat aurat perempuan dan sebaliknya jika ada kebutuhan “pengobatan”, seperti kiret, operasi melahirkan, atau pengobatan lainnya. Tapi harus benar benar ada kebutuhan lho ya, jangan dibuat buat. Kalau dibuat buat, ya haram. Ibadah aja jika dibuat buat ya haram. Wallahu a’lam. []

Imam Nakhai

Imam Nakhai

Bekerja di Komnas Perempuan

Terkait Posts

Perempuan sosial

Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

10 Mei 2025
Sunat Perempuan

Sunat Perempuan dalam Perspektif Moral Islam

2 Mei 2025
Metode Mubadalah

Beda Qiyas dari Metode Mubadalah: Menjembatani Nalar Hukum dan Kesalingan Kemanusiaan

25 April 2025
Kontroversi Nikah Batin

Kontroversi Nikah Batin Ala Film Bidaah dalam Kitab-kitab Turats

22 April 2025
Anak yang Lahir di Luar Nikah

Laki-laki Harus Bertanggung Jawab terhadap Anak Biologis yang Lahir di Luar Nikah: Perspektif Maqasid Syari’ah

25 Maret 2025
Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

18 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID