Mubadalah.id – Sudah satu bulan ini saya menemani, atau lebih tepat mendengarkan curhatan sahabat-sahabat perempuan, tentang bagaimana bertahan dalam pernikahan yang salah. Saya bukan penasehat perkawinan, tetapi dengan meluangkan waktu yang tak seberapa itu, saya ingin menjadi teman yang bersedia mendengarkan.
Apa manfaatnya? Bagi saya sendiri bisa menjadi refleksi bagaimana saya mampu mengelola emosi dan komunikasi dengan pasangan, karena membina rumah tangga itu tak cukup hanya dalam waktu satu dua hari, atau satu bulan dua bulan. Bisa jadi orang yang bertahun-tahun tinggal bersama kita itu, berubah menjadi orang asing yang tak lagi kita kenali.
Apakah cinta cukup untuk menjadi pengikat? Atau harus ada anak? Pertanyaan-pertanyaan ini juga tergantung. Jika sudah ada anak, alasan terbesar perempuan atau seorang istri bertahan adalah karena kehadiran anak. Tentu perempuan tidak ingin dianggap sebagai orang dewasa yang egois, lantas mengabaikan perasaan anak, atau mengorbankan masa depannya
Lalu bagaimana dengan perasaan cinta yang dulu saat awal bertemu begitu menggebu-gebu? Saya juga tidak yakin getar cinta itu masih terasa sama. Mungkin akan semakin meredup atau hilang entah ke mana. Bahkan aku sampai meraba-raba dalam kehidupanku sendiri, masihkah ada cinta?
Saat Memilih Berpisah
Saya masih agak terkejut ketika salah satu kawan karib akhirnya memutuskan berpisah, dan memilih palu hakim di pengadilan sebagai jalan keluar. Tetapi apapun keputusan itu, saya akan selalu mendukungnya, dan berjanji akan selalu ada kapanpun ia membutuhkan tempat untuk bersandar.
Perpisahan itu, seperti apapun caranya tak pernah menyenangkan. Tetapi minimal kita bisa memaknai perpisahan dengan cara elegan. Memaafkan, meski bukan berarti melupakan. Terlebih ketika proses menuju perpisahan itu dilalui dengan kemarahan, kebencian, luka, tangis dan air mata. Sebagai sesama perempuan saya ikut merasakan lara itu.
Ya, tak ada perpisahan yang mudah. Cerai hidup atau mati, bagi perempuan ada separuh perjalanan yang pernah dilewati bersama pasangan. Pasti pernah mengalami masa-masa manis, meski tak lama, atau hanya sementara. Setidaknya kita bisa mengemas kenangan itu, baik manis maupun pahit, menjadi bekal untuk melanjutkan perjalanan kehidupan.
Saat Memilih Bertahan
“Salahkah aku bertahan untuk kepentingan anak-anak Mbak?”
Satu tanya itu masih tersimpan di salah satu chat pesan singkat gawaiku. Saya tahu, dengan dia bertahan dan semakin lama tinggal dalam lingkaran hidup yang tak sehat itu akan membuatnya semakin hancur. Tetapi di sisi lain, ada nasib masa depan anak-anak yang juga harus dia prioritaskan. Itulah dilema bagai makan buah simalakama bagi perempuan.
Sekali lagi saya bukan penasehat perkawinan, tetapi ketika mengetahui atau mendengarkan orang yang saya kenal bercerita, dan dia merasa terjebak dalam pernikahan yang salah, saya berulang kali berpikir, apa yang salah dengan cara komunikasi dan relasi antar pasangan suami istri?
Ya, masing-masing harus menurunkan ego dan standar ekspektasi apa yang diharapkan dalam rancang bangun membina keluarga. Ada hal-hal yang kita bisa, dan pasangan tak mampu. Begitu juga sebaliknya. Kompromi dan negosiasi menjadi harga mati yang terus menerus harus kita lakukan, bahkan seumur hidup. Dan itu pula yang saya jalani selama ini.
Tak Ada Pernikahan yang Salah
Sebagai sesuatu yang sakral, dan pintu gerbang awal sepasang anak manusia memasuki babak kehidupan selanjutnya, menurutku tidak ada pernikahan yang salah. Tapi orang-orang yang memilih menikah, dan memutuskan untuk tinggal bersama itu yang memiliki persoalan. Bisa soal ekonomi, relasi timpang, KDRT, perselingkuhan, ataupun motif lainnya.
Untuk itu, bagi yang sedang merencanakan pernikahan ada baiknya harus betul-betul menemu kenali calon pasangan hidup kita. Jangan karena terpaksa mengingat usia yang dianggap sudah matang atau cukup menikah, atau sebab perjodohan lantas membuat kita tergesa-gesa ambil keputusan segera menikah.
Ya menikahlah karena sudah waktunya, dan yakin bahwa kita akan menghabiskan waktu seumur hidup bersama orang yang sama. Kelak, ketika menua bersama itu, yang ada kita bukan lagi merasa sebagai pasangan suami istri yang sedang jatuh cinta. Tetapi sepasang sahabat yang bercengkrama, berbincang mesra untuk merenda hari esok yang lebih berwarna. []