Mubadalah.id – Sejarah telah mencatat bahwa konflik dan permusuhan di antara kaum muslimin sendiri terjadi karena perbedaan pandangan dalam memahami sumber-sumber agama Islam, baik al-Qur’an maupun Hadis.
Sesungguhnya perdebatan di sekitar pemahaman atau pemaknaan kata atau teks terutama teks keagamaan merupakan perdebatan yang sangat klasik. Ia bukan khas masyarakat muslim, tetapi juga semua komunitas manusia. Ia telah muncul sejak manusia ada dan bersama orang lain.
Perbedaan pikiran manusia menjadi sangat niscaya. Perdebatan itu pada gilirannya melahirkan sekte-sekte, aliran-aliran pemikiran. Termasuk mazhab-mazhab keagamaan bahkan ideologi-ideologi sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Pada dimensi hukum fiqh, masyarakat muslim mengenal dua aliran besar, ahl al-hadits dan ahl al-ra’y. Aliran pertama cenderung lebih tekstualis (harfiah) dan mempercayai sumber berita, atau nara sumber lebih dari isi berita itu sendiri.
Narasumber yang semula manusia yang pandai pada zamannya (cendekiawan, ulama), dalam perjalanan sejarahnya kemudian menjadi manusia yang acap disakralkan atau paling tidak menimbulkan resistensi sosial ketika ia dikritik.
Sementara aliran yang kedua, disebut kaum rasionalis. Kelompok ini lebih melihat pada kandungan atau isi berita lebih daripada nara sumbernya. Nara sumber dihargai dan dihormati sebagai manusia pandai, tetapi bukan tanpa cacat, keliru, salah atau lupa.
Pada dasarnya kedua aliran tersebut tidak jauh berbeda dalam semangat dan tujuannya. Semuanya sepakat bahwa hukum, termasuk hukum Islam, mereka buat dan rumuskan dalam rangka mewujudkan keadilan dan menegakkan kebaikan, ketertiban, kemaslahatan, dan kemakmuran (kesejahteraan) manusia. Kita menemukan paradigma ini pada semua ahli fiqh Islam.
Mereka menegaskan sebuah kaedah terkenal: “Jalb al-Mashalih wa Dar’u al-Mafasid”, (menghasilkan kemaslahatan dan meniadakan kerusakan).
Sebagian ulama bahkan hanya menyebut “Jalb al-Mashalih” (membawa kemaslahatan). Maslahah mereka tafsirkan sebagai kebaikan, kegunaan, kenikmatan dan kebahagiaan. Sementara Mafsadah mereka artikan sebagai keburukan, penderitaan, yang sia-sia, yang menyengsarakan dan sejenisnya. []