Mubadalah.id – Kasus kekerasan di Indonesia hingga saat ini masih menjadi PR bagi kita semua. Rasanya tindak kekerasan tidak ada hentinya. Bahkan di lembaga pendidikan sekalipun angka kekerasan masih banyak terjadi.
Merujuk data dari Simfoni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat selama 1 Januari – 28 November 2023 ada sebanyak 22.441 kasus kekerasan di lembaga pendidikan. Dari data tersebut terdiri dari 580 kasus yang terjadi di TK/Paud, 5.712 kasus di SD, 6.256 kasus di SMP, 7.846 kasus di SMA, dan 2047 kasus di perguruan tinggi.
Dari angka tersebut, kita bisa membayangkan, bahwa di lembaga pendidikan sekalipun belum menjadi ruang yang aman. Masih banyak predator yang terus berkeliaran di lembaga pendidikan kita. Bahkan setingkat TK/Paud, banyak anak-anak kita yang menjadi korban kekerasan.
Namun sayangnya, tingginya angka kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan menjadi tamparan keras bagi bangsa Indonesia, lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat belajar dan mencari ilmu pengetahuan justru menjadi sarang bagi para pelaku kekerasan.
Bagi saya hal ini sangat miris, karena di tengah bangsa ini mencetak generasi yang cerdas, justru ia menjadi korban dari segala tindak kekerasan.
Laporkan Kasusnya
Sebetulnya, anak-anak yang menjadi korban kekerasan bisa melaporkan kasusnya itu ke pihak yang berwajib. Bahkan untuk mendamping kasusnya, ia bisa meminta berbagai lembaga pendamping atau lembaga bantuan hukum (LBH).
Karena bagi para pelaku bisa kita laporankan dengan Pasal 76 c UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.
Adapun isi pasal tersebut berbunyi “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak.”
Oleh karena itu, yang dibutuhkan bagi orang tua adalah ia harus berani melaporkan, harus berani untuk speak up atas kasus yang anaknya alami.
Bahkan bagi para mahasiswa yang mengalami kasus kekerasan seksual, sebetulnya ia bisa melaporkannya kasusnya kepada Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang ada di setiap perguruan tinggi.
Satgas PPKS merupakan lembaga yang ada di perguruan tinggi yang didirikan dengan mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Adapun ruang lingkup dari kerja-kerja Satgas PPKS ini mencakup mahasiswa, pendidik, tenaga pendidikan, dan warga kampus. Serta masyarakat umum yang berinteraksi dengan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma.
Perlindungan Bagi Korban
Dalam Permendikbud juga mencantumkan bahwa perguruan tinggi wajib melakukan perlindungan kepada korban berupa:
Pertama, jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi mahasiswa. Kedua, jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai pendidik dan/atau tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang bersangkutan.
Ketiga, jaminan pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku atau pihak lain atau keberulangan kekerasan seksual dalam bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik kepada aparat penegak hukum.
Keempat, pelindungan atas kerahasiaan identitas. Kelima, penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan. Keenam, penyediaan rumah aman dan pelindungan atas keamanan dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang ia berikan.
Oleh sebab itu, bagi saya, semua regulasi yang telah dibuat dapat menjadi payung hukum yang jelas bagi para korban. Korban harus berani speak up, dan harus berani melapor. Karena dengan melaporkan pelaku, setidaknya dapat membuat pelaku menjadi jera dan sadar bahwa apa yang lakukannya melanggar konstitusi negara.
Dan dengan melapor, setidaknya kita bisa memutus mata rantai kekerasan yang ada di lembaga pendidikan. Oleh sebab itu, jika terjadi kekerasan, mari kita speak up dan lapor. []