Mubadalah.id – Dalam beberapa catatan hadis, Nabi Muhammad Saw menegaskan tentang besarnya pahala bagi perempuan yang menanggung nafkah keluarga.
Besarnya pahala bagi perempuan yang menanggung nafkah keluarga itu merujuk pada teks hadis yang diriwayat Shahih Bukhari. Isi hadis tersebut sebagai berikut:
Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud Ra berkata, Ketika berada di masjid, aku mendengar Rasulullah Saw memberi nasihat, “Bersedekahlah walaupun dengan perhiasan yang kamu pakai.”
Zainab adalah orang yang menafkahi Abdullah dan anak-anak yatim yang ada di rumahnya.
Ia berkata kepada Abdullah, “Tanyakan kepada Rasulullah Saw apakah aku mendapatkan pahala dari menafkahimu dan anak-anak yatimku yang ada di rumahku?”
“Kamu saja yang bertanya kepada Rasulullah Saw,” jawab suaminya itu.
Akhirnya, aku (Zainab) datang sendiri menemui Rasulullah Saw. Di pintu, aku bertemu dengan perempuan yang memiliki keperluan yang sama denganku.
Lalu, kami melihat Bilal lewat di dekat kami. Maka kami pun berkata kepadanya, “Tolong, tanyakan kepada Rasulullah Saw, apakah aku mendapatkan pahala dari nafkah yang aku berikan kepada suamiku dan anakanak yatimku yang ada di rumahku?” Kami juga berpesan kepada Bilal agar tidak membuka identitas kami kepada Rasulullah Saw.
Bilal masuk menemui Rasulullah Saw dan mengutarakan persoalan kami. “Siapa mereka yang bertanya?” tanya Rasulullah Saw.
“Zainab,” jawab Bilal. “Zainab yang mana?”
“Istri Abdullah,” terakhir Bilal berujar.
Rasulullah Saw kemudian bersabda, “Ya, ia memperoleh dua pahala, pahala kekerabatan dan pahala sedekah.” (Shahih al-Bukhari).
Penjelasan Hadis
Teks hadis ini, menurut Faqihuddin Abdul Kodir, seperti di dalam buku 60 Hadis Shahih, menambah deretan fakta mengenai para perempuan yang menanggung ekonomi keluarga pada zaman Rasulullah Saw. Di samping ada Khadijah Ra, Ummu Syuraik Ra, dan Raithah Ra, juga ada Zainab Ra.
Ini menunjukkan adanya preseden pada masa Nabi Muhammad Saw mengenai perempuan yang menanggung ekonomi keluarga mereka. Sehingga, tanggung jawab domestik seharusnya juga menjadi kewajiban bersama antara suami dan istri.
Dengan preseden ini, perempuan seharusnya tidak dilarang dari aktivitas publik, seperti pencarian nafkah ekonomi, sebagaimana mereka juga tidak seharusnya dikungkung dengan kerja-kerja domestik. Pada saat yang sama, laki-laki juga tidak ditabukan untuk kerja-kerja domestik dalam rumah tangga.
Dengan perspektif kesalingan, baik ranah domestik maupun publik adalah ranah bersama yang dibangun atas dasar kebersamaan dan kerja sama untuk kebaikan serta kemaslahatan seluruh anggota keluarga dan masyarakat. []