Mubadalah.id – Guruku Kiai Faqihuddin Abdul Kodir berapa hari yang lalu menuliskan catatan pendek tentang balada bukan anak sambung Kiai di akun media sosialnya. Dalam tulisannya itu, Kiai Faqih mengawali dengan cerita tentang curhatan salah satu peserta pelatihan kegiatan jaringan Mubadalah.
Curhatan itu ia sampaikan pada Ibu Nyai Nur Rofiah. Begini kira-kira narasinya. Dia sebagai anak sambung seorang kiai, bukan anak kandung. Ibunya dinikahi seorang kiai, jadi otomatis jadi anak (sambung) kiai.
Katanya, dia sering mengalami bullian, karena hanya anak sambung bukan anak kandung. Tentu di kalangan tertentu saja. Sehingga, sering dia harus menyisih ke komunitas lain, yang lebih egaliter dan penuh apresiasi, karena tidak tahan bullian tersebut.
Dia bertanya bagaimana strategi untuk menghadapi orang-orang yang suka membully ini? Ia mengatakan kadang tidak tahan menghadapinya.
Lalu Ibu Nyai Nur Rofiah menjawab, “Lah kamu anak sambung, masih mending, aku bukan anak sambung apalagi kandung. Apalagi Faqih ini (Kiai Faqih, red), nggak ada sambungan sama sekali. Tapi tenang saja. Yang penting itu kita fokus pada apa yang kita lakukan. Sejauhmana kita bisa memberi manfaat, evaluasi dan refleksi di situ saja. Hal-hal yang bukan dalam kontrol kita, seperti takdir jadi anak siapa, jangan terlalu jadi fokus, karena kita tidak bisa mengubahnya.”
Hikmah dari Nabi Musa
Sebagai anak yang tidak nyambung sama sekali dengan nasab dan darah biru, Kiai Faqih menambahkan bahwa ada kisah serupa, di mana kita bisa mengambil hikmah dari cerita yang Kiai Faqih sampaikan ini.
Alkisah, Nabi Musa juga pernah curhat pada Allah SWT, tentang kaumnya Bani Israel yang sering ngrasani dan membullly.
“Musa itu, katanya Nabi, tapi kok tidak bisa begini, tidak mengerti itu, suka ini dan suka itu, nggak jelas blas!” kira- kira itulah omongan mereka, yang dirasakan dan dicurhatkan oleh Nabi Musa as.
“Rabbi, Tuhanku, katanya aku utusan Mu, kok aku diomongin begitu oleh ummatku sendiri dan Kamu diam saja. Mbok yo mereka diingatkan atau Kamu enyahkan saja. Aku kan utusan Mu dan pilihan Mu toh?” Kata Nabi Musa mengutarakan maksudnya pada Tuhannya.
Allah menjawab, “Lah, kamu meminta sesuatu yang Aku juga tidak melakukannya untuk diri Ku. Kan banyak manusia yang menuduh Ku, tidak adil, tidak sayang, atau apalah. Mereka juga tetap bisa berkata-kata itu dan aku biarkan.”
Lantas Nabi Musa pun membalasnya, “Oh, begitu ya? Ya sudah.”
Unwanted Children
Setelah saling merespon dengan komentar di media sosial itu, Ibu Nyai menghubungi saya lewat pesan singkat, menyambung pembahasan soal anak sambung kiai. Sambil bercanda, Ibu Nyai mengatakan sebagai sesama unwanted children, atau anak-anak yang tidak diinginkan dalam trah darah biru, kita semua adalah unwanted children. Lantas aku mengamini pendapatnya tersebut sambil senyum-senyum.
Akan tetapi sebagai diri yang mengaku santri Mubadalah dan KGI, saya lebih memilih menjadi anak kandung ideologis. Sebab, menjadi anak biologis adalah takdir yang kita tidak bisa memilih atau menentukan jalan takdir itu. Hanya Gusti Allah jua yang punya kuasa.
Maka, meskipun dianggap sebagai unwanted children, saya sebagaimana Kiai Faqih dan Ibu Nyai Nur Rofiah akan terus berikhtiar memilih jalan ini. Walau terjal dan berliku, jalan yang tak pernah mulus karena tidak ada privilege sebagai trah darah biru tadi. Tetapi yakin dan percaya jalan ini akan sampai pada tujuan yang sama. Yaitu menjadi hamba Allah, manusia yang bisa memanusiakan manusia lainnya tanpa beda kasta, harta, tahta maupun rupa.
Jadi dari garis trah manapun, entah darah merah, biru ataupun hijau, kita manusia akan terus berupaya menjadi sebaik-baik wakil Tuhan di bumi yang tidak melakukan kerusakan dalam bentuk apapun. Sehingga memilih menjadi anak ideologis Mubadalah dan KGI adalah pilihan yang akan terus kita ikhtiari bersama. Lahir batin, jiwa raga dan penuh semangat empat lima. []