• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah

Bayangan Sejarah Kolonial yang Merusak Wajah Ramah Islam Nusantara

Politik belah-jajah kolonial, yang memanfaatkan perbedaan agama, telah mewariskan permusuhan antarumat beragama.

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
29/07/2024
in Publik
0
Sejarah Kolonial

Sejarah Kolonial

740
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bicara soal toleransi dalam masyarakat Nusantara yang beragam, yang hari ini ramai sebagai bagian agenda moderasi beragama, kita sering abai melihat sejarah. Terlebih itu sejarah kolonial. Padahal masa lalu berhubungan dengan ekspresi tradisi hari ini.

Penjajahan Belanda nyatanya tidak hanya membawa penderitaan penjajahan. Kolonialisme juga memunculkan akar permusuhan antarsesama masyarakat Nusantara. Melalui taktik belah-jajah, Belanda membenturkan masyarakat, agar sulit bersatu melawan mereka. Di antara pembenturan itu, keragaman agama masyarakat turut menjadi isu yang mereka mainkan.

Kolonialisme Belanda dan Misi Agama

Banyak yang sering mengaitkan gold (mencari kekayaan), glory (melakukan ekspansi), dan gospel (menyebarkan agama gereja) sebagai tiga misi utama Belanda di Nusantara. Namun, kalau menelisik sejarah, nyatanya Belanda (baik VOC hingga pemerintah kolonial Hindia-Belanda) tidak begitu tertarik dengan misi injili.

Tidak seperti Portugis dan Spanyol yang mendukung misionarisme di Nusantara, Belanda lebih tepat sekadar memanfaatkan untuk kepentingan kolonial. 

Pandangan ini sejalan dengan penjelasan Mufti Ali dalam Misionarisme di Banten. Ia menjelaskan kalau misionarisme di Nusantara tidak intensif dan ekstensif pada masa VOC (juga pemerintah kolonial Belanda).

Kebijakan politik VOC secara sistematis membatasi kegiatan misionarisme untuk kepentingan ekonomi mereka. Upaya misionarisme dipandang dapat menghambat hubungan VOC dengan pihak lokal, karena adanya fanatisme dan resistensi terhadap agama Eropa.

Ketika VOC bangkrut dan penjajahan dipegang langsung oleh pemerintah kolonial Belanda, gospel juga tidak menjadi misi yang begitu berarti. Bahkan, sebagaimana Mufti Ali, pemerintah kolonial Belanda secara resmi melarang misionarisme hingga Juni 1850 M. Hal itu merupakan dampak dari Perang Diponegoro pada 1825-1830. Pemerintah kolonial tidak ingin adanya pemberontakan serupa yang terpicu karena agama. 

Baca Juga:

Membincang Toleransi Muslim dan Kristen di Momen Idulfitri

Idulfitri, Hari Merayakan Toleransi: Sucinya Hati dari Nafsu Menyakiti Umat yang Berbeda Agama

Puasa Sebagai Perisai dari Bencana Kemanusiaan Akibat Perpecahan Antarumat Beragama

Muslim di Klenteng: Membaca Ekspresi Islam Tionghoa di Indonesia

Islam kala itu memang menjadi kekuatan perlawanan terhadap kehadiran penjajah. Tidak heran jika mereka melarang dan memperketat izin penyebaran agama Kristen di Nusantara, agar tidak timbul resistensi dari umat Islam.

Di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, banyak kasus yang menampakkan ketidak-tertarikan Belanda dalam mengembangkan agama Kristen di wilayah ini. Ketika guru Kristen satu-satunya di kerajaan itu, P. Bastian yang merupakan seorang pendeta asal Ambon, meninggal pada tahun 1831, Raja Jakobus Manuel Manoppo, yang waktu itu belum memeluk Islam, meminta pihak kolonial untuk mendatangkan pengganti. Namun, residen tidak memberi respon atas permintaan itu. 

Agaknya hal itu dipengaruhi kebijakan kolonial Belanda yang membatasi aktivitas misionarisme hingga tahun 1850. Namun, pada dasarnya kasus itu menjelaskan kalau Belanda tidak begitu peduli pada misi gospel. Tidak heran, sebagaimana temuan Seven Kosel dalam The History of Islam in Bolaang Mongondow, pada masa itu, meski raja beragama Kristen, namun aktivitas jamaat Kristiani tidak berjalan secara masif.

Islam, Perbedaan Agama, dan Taktik Belah-jajah Belanda

Kedatangan Belanda di Nusantara pada dasarnya membawa misi utama penjajahan. Untuk alasan ini, mereka tidak jarang memanfaatkan agama. Taktik belah-jajah, atau politik devide et impera, Belanda turut memanfaatkan perbedaan agama masyarakat Nusantara. Melalui politisasi agama, mereka membenturkan masyarakat. 

Dalam upaya ini, kolonial Belanda tidak hanya memanfaatkan Kristenisasi, namun mereka juga dapat mendorong Islamisasi (maupun perkembangan agama lain). Tergantung mana yang menguntungkan bagi upaya penjajahan mereka. Banyak contoh akan sejarah kolonial ini.

Pada abad ke-18 M, ketika VOC sudah menguasai Blambangan, Bali masih memberikan dukungan atas perlawanan Blambangan terhadap VOC. Hal ini sebab adanya ikatan kuat berdasarkan agama dan sejarah. Blambangan waktu itu masih merupakan basis Hindu di Jawa. Untuk memutus ikatan itu, maka VOC mendorong Islamisasi di Blambangan. 

Sebagaimana Nengah Bawa Atmaja dalam Geneologi Keruntuhan Majapahit, pada tahun 1768, penguasa kolonial mewajibkan para pemimpin lokal untuk memeluk Islam. Hal itu menjadikan Islam berkembang di Blambangan menggantikan dominasi agama Hindu.

Perhatian VOC terhadap Islamisasi tentu bukan karena kepedulian menyebarkan agama di Blambangan. Itu bagian dari taktik belah-jajah. Agar, bantuan Bali untuk perjuangan Blambangan menjadi kendor, sebab ikatan agama telah terputus. Hal itu menjadikan kedudukan VOC semakin kuat di daerah tersebut.

Ada lagi kasus di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Belanda terbilang tidak begitu peduli terhadap perkembangan agama Kristen di daerah ini. Namun, pada tahun 1844 (atau 1848), ketika Raja Jakobus Manuel Manoppo menghadap residen di Manado, dan menyatakan dirinya akan masuk Islam serta akan mengislamkan rakyatnya. Mereka justru sangat exited, tidak keberatan, bahkan memberi gelar sultan kepada raja.

Sulit untuk mengatakan sikap Belanda itu murni merupakan support atas perkembangan Islam. Pihak kolonial tentu melihat sesuatu yang mengutungkan bagi mereka. Boleh jadi mereka sadar kalau, berkembangnya Islam di Bolaang Mongondow dan Kristen di Minahasa akan semakin meliyankan keduanya. Sehingga kecil potensi dua kekuatan besar di semenanjung utara Sulawesi dapat bersatu untuk melawan penjajah. Maka dalam rangka taktik belah-jajah, Belanda perlu menyambut baik keinginan raja untuk masuk Islam.

Wajah Islam Ramah dalam Bayang-bayang Kolonial

Tentu berkembangnya Islam di Blambangan dan Bolaang Mongondow tidak semata karena campur tangan Belanda. Ada banyak algoritma dalam perkembangan Islam. Di Bolaang Mongondow, misalnya, keislaman raja tidak lepas dari kesuksesan dakwah jejaring ulama Imam Tueko. Namun, hal yang perlu kita catat di sini adalah sikap politis Belanda, yang sengaja memanfaatkan perbedaan agama di masyarakat untuk membangun perpecahan.

Kita perlu ingat kalau, sebagaimana Raewyn Connel, dkk., dalam Toward a Global Sociology of Knowledge, sejarah panjang kolonial ikut memengaruhi domain pengatahuan kolektif masyarakat. Maka, kita perlu curiga, mudahnya sebagian umat Muslim terprovokasi oleh perbedaan agama (pun umat Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu, dan Penghayat), tidak lepas dari akar permusuhan yang sudah membayangi keragaman kita selama ratusan tahun era kolonial.

Selama ratusan tahun native’s mind masyarakat Muslim Nusantara disugesti bahwa berbeda agama artinya bermusuhan. Begitu ajaran kolonial. Tidak heran ada sebagian Muslim di negeri ini yang membenci non-Muslim tanpa alasan (begitupun sebaliknya). Kalau kita tanya alasannya, jawabnya ya benci saja. Seakan kebencian itu sudah tertanam dan terwariskan selama ratusan tahun dalam memori kolektif mereka.

Padahal sejak awal pondasi Islam Nusantara yang para wali dan ulama letakkan, adalah wajah Islam ramah yang menghormati umat agama lain. Sebagaimana contoh Sunan Kudus, yang tidak mau menyembelih sapi sebagai penghormatannya terhadap masyarakat Hindu di sekitarnya.

Pun kearifan masyarakat Nusantara, secara umum, tidak kekurangan paradigma hidup damai bersama. Kearifan hidup yang membuat Damopolii, yang menerima Kristen di Manado, dan Tadohe, anaknya, yang bertahta di Bolaang Mongondow menerima Islam, tidak lantas bertikai karena agama keduanya berbeda. Sebab, kearifannya adalah meski beda agama, torang samua basudara.

Namun politik belah-jajah kolonial, yang memanfaatkan perbedaan agama, telah mewariskan permusuhan antarumat beragama. Itu merusak wajah Islam Nusantara dan watak kearifan hidup damai bersama.

Maka, menjadi tantangan toleransi hari ini, khususnya dalam konteks Islam ramah, adalah melepaskan diri dari bayangan ajaran kolonial, dan membangun kesadaran ajaran para wali penyebar Islam, yang telah meletakkan pondasi Islam ramah sebagai ekspresi beragama masyarakat Muslim Nusantara di tengah keragaman agama. []

Tags: Islam Nusantaraislam ramahKerukunan Antar Umat BeragamaKolonialisme BelandaSejarah NusantaraToleransi beragama
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Wahabi Lingkungan

Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID