Mubadalah.id – Bicara soal toleransi dalam masyarakat Nusantara yang beragam, yang hari ini ramai sebagai bagian agenda moderasi beragama, kita sering abai melihat sejarah. Terlebih itu sejarah kolonial. Padahal masa lalu berhubungan dengan ekspresi tradisi hari ini.
Penjajahan Belanda nyatanya tidak hanya membawa penderitaan penjajahan. Kolonialisme juga memunculkan akar permusuhan antarsesama masyarakat Nusantara. Melalui taktik belah-jajah, Belanda membenturkan masyarakat, agar sulit bersatu melawan mereka. Di antara pembenturan itu, keragaman agama masyarakat turut menjadi isu yang mereka mainkan.
Kolonialisme Belanda dan Misi Agama
Banyak yang sering mengaitkan gold (mencari kekayaan), glory (melakukan ekspansi), dan gospel (menyebarkan agama gereja) sebagai tiga misi utama Belanda di Nusantara. Namun, kalau menelisik sejarah, nyatanya Belanda (baik VOC hingga pemerintah kolonial Hindia-Belanda) tidak begitu tertarik dengan misi injili.
Tidak seperti Portugis dan Spanyol yang mendukung misionarisme di Nusantara, Belanda lebih tepat sekadar memanfaatkan untuk kepentingan kolonial.
Pandangan ini sejalan dengan penjelasan Mufti Ali dalam Misionarisme di Banten. Ia menjelaskan kalau misionarisme di Nusantara tidak intensif dan ekstensif pada masa VOC (juga pemerintah kolonial Belanda).
Kebijakan politik VOC secara sistematis membatasi kegiatan misionarisme untuk kepentingan ekonomi mereka. Upaya misionarisme dipandang dapat menghambat hubungan VOC dengan pihak lokal, karena adanya fanatisme dan resistensi terhadap agama Eropa.
Ketika VOC bangkrut dan penjajahan dipegang langsung oleh pemerintah kolonial Belanda, gospel juga tidak menjadi misi yang begitu berarti. Bahkan, sebagaimana Mufti Ali, pemerintah kolonial Belanda secara resmi melarang misionarisme hingga Juni 1850 M. Hal itu merupakan dampak dari Perang Diponegoro pada 1825-1830. Pemerintah kolonial tidak ingin adanya pemberontakan serupa yang terpicu karena agama.
Islam kala itu memang menjadi kekuatan perlawanan terhadap kehadiran penjajah. Tidak heran jika mereka melarang dan memperketat izin penyebaran agama Kristen di Nusantara, agar tidak timbul resistensi dari umat Islam.
Di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, banyak kasus yang menampakkan ketidak-tertarikan Belanda dalam mengembangkan agama Kristen di wilayah ini. Ketika guru Kristen satu-satunya di kerajaan itu, P. Bastian yang merupakan seorang pendeta asal Ambon, meninggal pada tahun 1831, Raja Jakobus Manuel Manoppo, yang waktu itu belum memeluk Islam, meminta pihak kolonial untuk mendatangkan pengganti. Namun, residen tidak memberi respon atas permintaan itu.
Agaknya hal itu dipengaruhi kebijakan kolonial Belanda yang membatasi aktivitas misionarisme hingga tahun 1850. Namun, pada dasarnya kasus itu menjelaskan kalau Belanda tidak begitu peduli pada misi gospel. Tidak heran, sebagaimana temuan Seven Kosel dalam The History of Islam in Bolaang Mongondow, pada masa itu, meski raja beragama Kristen, namun aktivitas jamaat Kristiani tidak berjalan secara masif.
Islam, Perbedaan Agama, dan Taktik Belah-jajah Belanda
Kedatangan Belanda di Nusantara pada dasarnya membawa misi utama penjajahan. Untuk alasan ini, mereka tidak jarang memanfaatkan agama. Taktik belah-jajah, atau politik devide et impera, Belanda turut memanfaatkan perbedaan agama masyarakat Nusantara. Melalui politisasi agama, mereka membenturkan masyarakat.
Dalam upaya ini, kolonial Belanda tidak hanya memanfaatkan Kristenisasi, namun mereka juga dapat mendorong Islamisasi (maupun perkembangan agama lain). Tergantung mana yang menguntungkan bagi upaya penjajahan mereka. Banyak contoh akan sejarah kolonial ini.
Pada abad ke-18 M, ketika VOC sudah menguasai Blambangan, Bali masih memberikan dukungan atas perlawanan Blambangan terhadap VOC. Hal ini sebab adanya ikatan kuat berdasarkan agama dan sejarah. Blambangan waktu itu masih merupakan basis Hindu di Jawa. Untuk memutus ikatan itu, maka VOC mendorong Islamisasi di Blambangan.
Sebagaimana Nengah Bawa Atmaja dalam Geneologi Keruntuhan Majapahit, pada tahun 1768, penguasa kolonial mewajibkan para pemimpin lokal untuk memeluk Islam. Hal itu menjadikan Islam berkembang di Blambangan menggantikan dominasi agama Hindu.
Perhatian VOC terhadap Islamisasi tentu bukan karena kepedulian menyebarkan agama di Blambangan. Itu bagian dari taktik belah-jajah. Agar, bantuan Bali untuk perjuangan Blambangan menjadi kendor, sebab ikatan agama telah terputus. Hal itu menjadikan kedudukan VOC semakin kuat di daerah tersebut.
Ada lagi kasus di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Belanda terbilang tidak begitu peduli terhadap perkembangan agama Kristen di daerah ini. Namun, pada tahun 1844 (atau 1848), ketika Raja Jakobus Manuel Manoppo menghadap residen di Manado, dan menyatakan dirinya akan masuk Islam serta akan mengislamkan rakyatnya. Mereka justru sangat exited, tidak keberatan, bahkan memberi gelar sultan kepada raja.
Sulit untuk mengatakan sikap Belanda itu murni merupakan support atas perkembangan Islam. Pihak kolonial tentu melihat sesuatu yang mengutungkan bagi mereka. Boleh jadi mereka sadar kalau, berkembangnya Islam di Bolaang Mongondow dan Kristen di Minahasa akan semakin meliyankan keduanya. Sehingga kecil potensi dua kekuatan besar di semenanjung utara Sulawesi dapat bersatu untuk melawan penjajah. Maka dalam rangka taktik belah-jajah, Belanda perlu menyambut baik keinginan raja untuk masuk Islam.
Wajah Islam Ramah dalam Bayang-bayang Kolonial
Tentu berkembangnya Islam di Blambangan dan Bolaang Mongondow tidak semata karena campur tangan Belanda. Ada banyak algoritma dalam perkembangan Islam. Di Bolaang Mongondow, misalnya, keislaman raja tidak lepas dari kesuksesan dakwah jejaring ulama Imam Tueko. Namun, hal yang perlu kita catat di sini adalah sikap politis Belanda, yang sengaja memanfaatkan perbedaan agama di masyarakat untuk membangun perpecahan.
Kita perlu ingat kalau, sebagaimana Raewyn Connel, dkk., dalam Toward a Global Sociology of Knowledge, sejarah panjang kolonial ikut memengaruhi domain pengatahuan kolektif masyarakat. Maka, kita perlu curiga, mudahnya sebagian umat Muslim terprovokasi oleh perbedaan agama (pun umat Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu, dan Penghayat), tidak lepas dari akar permusuhan yang sudah membayangi keragaman kita selama ratusan tahun era kolonial.
Selama ratusan tahun native’s mind masyarakat Muslim Nusantara disugesti bahwa berbeda agama artinya bermusuhan. Begitu ajaran kolonial. Tidak heran ada sebagian Muslim di negeri ini yang membenci non-Muslim tanpa alasan (begitupun sebaliknya). Kalau kita tanya alasannya, jawabnya ya benci saja. Seakan kebencian itu sudah tertanam dan terwariskan selama ratusan tahun dalam memori kolektif mereka.
Padahal sejak awal pondasi Islam Nusantara yang para wali dan ulama letakkan, adalah wajah Islam ramah yang menghormati umat agama lain. Sebagaimana contoh Sunan Kudus, yang tidak mau menyembelih sapi sebagai penghormatannya terhadap masyarakat Hindu di sekitarnya.
Pun kearifan masyarakat Nusantara, secara umum, tidak kekurangan paradigma hidup damai bersama. Kearifan hidup yang membuat Damopolii, yang menerima Kristen di Manado, dan Tadohe, anaknya, yang bertahta di Bolaang Mongondow menerima Islam, tidak lantas bertikai karena agama keduanya berbeda. Sebab, kearifannya adalah meski beda agama, torang samua basudara.
Namun politik belah-jajah kolonial, yang memanfaatkan perbedaan agama, telah mewariskan permusuhan antarumat beragama. Itu merusak wajah Islam Nusantara dan watak kearifan hidup damai bersama.
Maka, menjadi tantangan toleransi hari ini, khususnya dalam konteks Islam ramah, adalah melepaskan diri dari bayangan ajaran kolonial, dan membangun kesadaran ajaran para wali penyebar Islam, yang telah meletakkan pondasi Islam ramah sebagai ekspresi beragama masyarakat Muslim Nusantara di tengah keragaman agama. []