Mubadalah.id – Dari sudut lain, pendekatan kontekstual menganggap pembicaraan mengenai teks-teks khusus dan teks-teks umum.
Pertanyaan yang perlu diajukan dalam hal ini adalah manakah yang harus dipertimbangkan manakala kita menghadapi ayat-ayat khusus dan ayat-ayat umum. (Baca juga: Bonus Demografi Indonesia: Bisa Menjadi Peluang sekaligus Tantangan)
Mayoritas ahli fiqh berpendapat bahwa jika terjadi pertentangan antara petunjuk-petunjuk hukum yang bersifat umum dan yang bersifat khusus maka petunjuk yang khusus harus didahulukan.
Akan tetapi Imam Abu Ishaq Al-Syathibi (1388 M) berpendapat sebaliknya. Dia berpendapat bahwa petunjuk-petunjuk umum atau hukum universal bersifat pasti.
Sementara petunjuk khusus bersifat mungkin dan kondisional, karena itu petunjuk umum dan harus mendahulukan yang universal.
Dari sinilah, maka al-Qur’an surat an-Nisa ayat 34 di atas, menurut pandangan KH. Husein Muhammad tidak menguraikan atau merujuk pada norma universal tetapi mendukung norma kontekstual.
Dengan demikian, kepemimpinan laki-laki atas perempuan harus memahaminya sebagai kepemimpinan yang bersifat kondisional dan fungsional belaka. (Baca juga: Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia)
Pada saat yang lain ketika kondisinya berubah pemahaman kita atasnya dan kesimpulan atasnya juga bisa berubah.
Para ulama ahli fiqh membuat satu kaedah hukum yang menyatakan bahwa hukum dapat berubah sejalan dengan perubahan konteks waktu, tempat, tradisi dan motivasinya.*
*Sumber : tulisan karya Septi Gumiandari dalam buku Menelusuri Pemikiran Tokoh-tokoh Islam.