Mubadalah.id – Gelombang protes massa di berbagai daerah Indonesia pada akhir Agustus 2025 menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya komunikasi yang baik. Sayangnya, pelajaran ini datang dari kegagalan sejumlah wakil rakyat dalam berkomunikasi dengan publik. Mereka bukannya meredam amarah masyarakat, justru memperparah situasi dengan pernyataan yang kurang bijaksana.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa jabatan sebagai wakil rakyat tidak hanya membutuhkan kemampuan politik, tetapi juga keterampilan komunikasi yang mumpuni. Ketika komunikasi gagal, yang terjadi adalah kehilangan kepercayaan publik dan gejolak sosial yang merugikan semua pihak.
Kegagalan Komunikasi yang Mengecewakan
Ahmad Sahroni, anggota DPR dari Fraksi NasDem, menjadi sorotan utama ketika mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyebut rakyat “tolol” dan reaksinya atas aspirasi rakyat yang dinilai tidak empatik. Ucapan dan tindakannya tersebut langsung memicu kemarahan publik dan bahkan membuat rumahnya digeruduk massa.
Akibat dari sikapnya itu, partai NasDem terpaksa mengambil tindakan tegas dengan menonaktifkan Sahroni dari jabatannya sebagai anggota DPR RI. Pengambilan keputusan ini setelah gelombang protes tidak kunjung mereda dan justru meluas ke berbagai daerah. Partai menilai pernyataan Sahroni telah mencederai perasaan rakyat dan merusak citra partai.
Kasus Sahroni ini menunjukkan bagaimana satu kalimat dan reaksi yang tidak terkendali bisa menghancurkan karier politik seseorang. Sebagai wakil rakyat, setiap kata yang terucapkan akan tersorot dan dinilai oleh publik. Ketidakmampuan mengendalikan emosi dan memilih kata yang tepat akhirnya berbuah petaka bagi diri sendiri.
Lebih ironis lagi, pernyataan tersebut terlontarkan justru saat rakyat sedang mengalami berbagai kesulitan ekonomi. Timing yang sangat tidak tepat ini semakin memperburuk reaksi publik dan membuat amarah semakin meluap.
Artis DPR yang Kehilangan Kepekaan
Kasus serupa juga menimpa Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya, tiga artis yang menjadi anggota DPR. Mereka menuai kritik keras karena pernyataan tentang tunjangan DPR yang dinilai tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi rakyat.
Ketiga artis ini tampaknya belum sepenuhnya memahami peran dan tanggung jawab sebagai anggota DPR. Mereka masih terjebak dalam pola pikir dunia hiburan yang berbeda dengan dunia politik. Komunikasi di dunia politik membutuhkan kehati-hatian dan sensitivitas yang tinggi terhadap kondisi masyarakat.
Akibatnya, partai masing-masing terpaksa mengambil tindakan dengan menonaktifkan mereka. NasDem menonaktifkan Nafa Urbach, sementara PAN mengambil langkah serupa terhadap Eko Patrio dan Uya Kuya.
Dampak Komunikasi Buruk
Pernyataan kontroversial keempat wakil rakyat ini tidak hanya memicu kemarahan di media sosial, tetapi juga menimbulkan aksi protes nyata di berbagai daerah. Situasi yang seharusnya bisa kita redam dengan komunikasi yang baik, malah berubah menjadi kericuhan yang merugikan semua pihak.
Dampak ekonomi dari aksi protes ini juga tidak bisa terabaikan. Aktivitas bisnis terganggu, lalu lintas macet, dan keamanan menjadi terancam. Kerugian materi yang muncul jauh lebih besar daripada manfaat yang ingin tercapai melalui protes tersebut. Semua ini bermula dari ketidakmampuan berkomunikasi dengan baik.
Kasus ini juga menciptakan citra buruk bagi anggota DPR lainnya. Publik kini semakin kritis terhadap setiap pernyataan yang wakil rakyat keluarkan. Kepercayaan yang sudah tipis menjadi semakin terkikis, dan membangun kembali kepercayaan tersebut akan membutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit.
Pelajaran dari Kegagalan Komunikasi
Kasus ini menunjukkan betapa besarnya dampak komunikasi yang buruk dari seorang pejabat publik. Satu kalimat yang tidak tepat bisa memicu kemarahan massa dan merugikan banyak pihak.
Wakil rakyat seharusnya memahami bahwa setiap kata yang mereka ucapkan akan terdengar dan dinilai oleh masyarakat luas. Sayangnya, kesadaran ini masih kurang dimiliki oleh sebagian wakil rakyat, terutama mereka yang baru pertama kali terjun ke dunia politik.
Selain itu, konteks dan timing dalam berkomunikasi juga sangat penting. Pernyataan yang mungkin tidak bermasalah di waktu normal bisa menjadi bumerang ketika terucapkan di saat yang tidak tepat.
Akibat yang Harus Ditanggung
Akibat dari kegagalan komunikasi ini, keempat anggota DPR tersebut akhirnya dinonaktifkan oleh partai masing-masing. NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, sementara PAN juga mengambil tindakan serupa terhadap Eko Patrio dan Uya Kuya. Keputusan ini diambil sebagai bentuk tanggung jawab partai terhadap pernyataan anggotanya yang mencederai perasaan rakyat.
Langkah penonaktifan ini sebenarnya terlambat dan reaktif. Partai politik seharusnya memberikan edukasi yang lebih baik kepada kadernya tentang komunikasi publik sebelum mereka duduk di kursi DPR. Pencegahan akan jauh lebih baik daripada penanganan setelah masalah terjadi dan merusak citra partai.
Dari sisi karier politik, keempat anggota DPR ini kemungkinan besar akan sulit mendapatkan kepercayaan publik di masa depan. Rekam jejak komunikasi yang buruk ini akan terus menghantui mereka dan menjadi beban dalam setiap langkah politik selanjutnya. Kepercayaan yang hilang jauh lebih sulit terbangun kembali daripada mempertahankannya.
Hikmah Pentingnya Komunikasi yang Baik
Dari kasus ini, ada beberapa hikmah penting yang bisa kita petik tentang komunikasi yang baik. Pertama, komunikasi yang efektif memerlukan empati dan pemahaman terhadap kondisi lawan bicara. Wakil rakyat harus memahami kondisi ekonomi dan psikologis masyarakat sebelum mengeluarkan pernyataan. Tanpa empati, komunikasi hanya akan menjadi monolog yang menyakitkan.
Kedua, komunikasi yang baik memerlukan kehati-hatian dalam memilih kata dan waktu yang tepat. Timing yang salah bisa membuat pesan yang benar menjadi kontraproduktif. Demikian pula dengan pemilihan kata yang tidak tepat bisa mengubah makna positif menjadi negatif. Keterampilan ini membutuhkan latihan dan pengalaman yang tidak sedikit.
Ketiga, konsistensi dalam komunikasi sangat penting untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan. Pernyataan yang berubah-ubah atau kontradiktif akan merusak kredibilitas seseorang. Publik membutuhkan figur yang dapat terpercaya dan konsisten dalam setiap pernyataannya. Inkonsistensi akan membuat publik kehilangan kepercayaan dan sulit untuk membangunnya kembali.
Keempat, komunikasi yang baik harus kita sertai dengan tindakan nyata. Kata-kata tanpa perbuatan akan kehilangan makna dan justru menimbulkan kekecewaan yang lebih besar.
Masyarakat sudah jenuh dengan janji-janji politik yang tidak pernah terealisasi. Mereka lebih menghargai tindakan nyata daripada retorika yang indah namun hampa makna. Terakhir, kemampuan mendengarkan sama pentingnya dengan kemampuan berbicara. Wakil rakyat harus mampu mendengarkan aspirasi dan keluhan masyarakat dengan sepenuh hati sebelum memberikan respons atau solusi. []