Mubadalah.id- Mubadalah adalah paradigma berpikir, berkeyakinan, dan berperilaku bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama subjek kehidupan yang setara, sehingga yang satu tidak lebih penting dari yang lain, melainkan sama-sama penting dan relasinya harus kesalingan dan kerjasama. Alhamdulillah, dalam hal ini, aku berguru langsung dengan guru agung, Ibu Nyai Hj. Sinta Nuriyah.
Saat kepulanganku dari Malaysia, akhir tahun 1999, oleh guru dan kyaiku Buya Husein Muhammad, aku diajak bergabung dengan Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Ciganjur, yang dipimpin Ibu Sinta Nuriyah. Forum ini mengadakan pengajian rutin dua mingguan di rumah Ibu Sinta Nuriyah di Ciganjur, atau kadang di istana negara Jakarta atau Bogor. Kitab yang dikaji adalah Syarh ‘Uqūd al-Lujjayn karya Syekh Nawawi Banten (w. 1314/1897).
Dalam Forum inilah, aku belajar mendengar langsung dari Ibu Sinta Nuriyah tentang paradigma, nilai, prinsip, dan bahkan metode interpretasi, yang kelak aku susun sebagai Qira’ah Mubadalah. Pikiran dan pernyataan-pernyataan Ibu Sinta Nuriyah selama pengajian di forum, semuanya tercatat dalam kitab dan buku yang terbit atas nama FK3.
Yaitu kitab Syarh wa Ta’līq ‘alā Syarh ‘Uqūd al-Lujjayn fī Bayān Huqūq az-Zawjayn (tahun 2000), “Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn” (tahun 2001), dan “Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujjayn” (tahun 2005).
Sebagaimana tertulis dalam buku-buku ini, Ibu Sinta Nuriyah meniscayakan dan mendorong lahirnya pemikiran keislaman yang menempatkan perempuan sebagai subyek dalam mengelola kehidupan, menyelesaikan persoalan, termasuk dalam menafsirkan teks-teks agama. Keterlibatan perempuan ini penting, bagi Ibu, untuk menyeimbangkan relasi dan mengukuhkan semangat keadilan menjadi prinsip ajaran Islam.
Ketika suatu teks dibaca dan dibahas dalam Forum pengajian ini, biasanya Ibu Sinta Nuriyah akan langsung merespon dan menyampaikan gagasan dan pemikirannya. Misalnya, ketika dibaca teks hadits yang menyatakan bahwa istri adalah tawanan suami, atau dalam riwayat lain seperti tawanan suami, maka Ibu akan langsung nyeletuk dengan senyum mengembang: “itu majaz (metafora) lah, kan biasa dalam bahasa sehari-hari juga seseorang menawan hati, istri tertawan suami, begitupun suami tertawan istri.”
Pernyataan seperti ini, tentu saja, tidak terlintas sama sekali dalam pikiranku sebelum bertemu Ibu Sinta Nuriyah. Aku baru mendengar makna teks hadits ini bisa dikaitkan dengan metafora. Pernyataan ini yang kemudian menginspirasiku bagaimana memaknai ulang teks hadits yang diriwayatkan Imam Turmudzi mengenai perempuan, atau istri yang menjadi tawanan para suami.
Ketika terlintas sebuah kisah istri Nabi Ayyub as yang begitu setia dan sabar mendampingi sang suami yang terkena musibah penyakit yang bertubi-tubi, Ibu Sinta Nuriyah dengan senyum yang khasnya akan menimpali:
“Ya iyalah, istri yang cinta dan setia akan bertindak seperti itu. Begitupun suami, jika benar ia mencintai istrinya, seharusnya, ketika cobaan dan ujian dari Allah menimpa sang istri, baik berupa harta benda, anak, fisik dan sebagainya, maka suami tetap sabar setia, tidak meninggalkannya, seperti dicontohkan Rahmah, istri Nabi Ayyub as”. Ibu Nuriyah lalu menambahi dengan kalimat: “Bukankah Sayyidina Umar ra sering berkata untuk bersabar dengan perilaku istri?”.
Ketika terlintas pernyataan-pernyataan Syekh Nawawi Banten dan beberapa ulama lain, bahwa sifat terpuji yang harus dimiliki perempuan adalah rasa malu, sehingga harus bertindak tahu diri, sopan, tenang, dan tidak menebar pesona kemana-mana. Saat itu juga, Ibu Sinta Nuriyah akan menimpali bahwa rasa malu merupakan akhlak yang terpuji dalam Islam. Bahwa setiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan, diperintahkan untuk memiliki sifat terpuji ini.
Memiliki sifat malu, pada tempatnya yang benar, adalah perintah dari Islam dan baik bagi perempuan maupun laki-laki, sebagaimana ditegaskan berbagai hadits: bahwa rasa malu itu sebagian dari keimanan. Demikianlah, cara Ibu Sinta Nuriyah memberi penjelasan terhadap pernyataan yang tertulis, dan kami bacakan, dalam Kitab Uqud al-Lujjayn Syekh Nawawi Banten.
Begitupun, ketika kami membahas konsep istri salihah, yang sering didefinisikan dengan tugas melakukan kewajiban kepada suami, menyenangkan, mentaati, menjaga diri, dan menjaga harta suami. Ibu Sinta Nuriyah mengajak kita untuk berpikir holistik tentang keluarga, tidak hanya terpaku pada istri. Menurutnya, rumah tangga yang bahagia (sakīnah) akan tercermin dari wajah-wajah para anggota keluarganya. Suami, istri, maupun anak-anak akan menunjukkan wajah-wajah yang ceria dan berseri-seri, bukan wajah-wajah yang cemberut atau kuyu.
Dalam kehidupan sehari-hari, suami dan istri harus sama-sama shalih dan shalihah. Yaitu dengan saling membantu dan saling menolong satu sama lain. Perilaku ini biasanya didasarkan pada rasa saling pengertian, saling menghormati, saling menyayangi dan saling mengasihi. Jadi, kata Ibu: “Suami seharusnya tidak hanya memerintah dan istri harus melaksanakannya dengan patuh, melainkan saling membantu dengan baik”.
Ketika kita baca bersama suatu teks hadits yang menyatakan malaikat akan melaknat istri yang meninggalkan tempat tidur suami, Ibu akan berseloroh dengan senyum khasnya: “Loh, bukannya para suami yang mudah pergi meninggalkan tempat tidur. Bukankah banyak para perempuan yang dengan begitu setia tidur di kursi menunggu suaminya pulang, tapi yang ditunggu tidak kunjung datang sampai pagi, he he he…”.
Lalu kami merumuskan, bagaimana memaknai teks hadis itu agar tidak hanya menyasar para istri, tetapi juga mendorong para suami untuk memiliki pengertian dan tanggung-jawab. Begitupun kepada teks-teks hadits yang menyalahkan istri yang mudah meminta cerai pada suami, kita maknai juga agar para suami tidak mudah menjatuhkan cerai pada istri.
Hadits-hadits tentang bersyukur, yang diarahkan kepada para istri, sesuai pernyataan dari Ibu Sinta Nuriyah, forum ini juga memaknainya secara mubadalah. Yaitu, bahwa saling mensyukuri antara suami-istri merupakan fondasi dalam membina rumah tangga yang sakinah karena saling mensyukuri akan mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan bagi keduanya.
Demikianlah paradigma mubadalah aku temukan langsung dari pernyataan-pernyataan sang guru Ibu Sinta Nuriyah. Paradigma ini kemudian aku susun dalam sebuah buku yang lebih komprehensif, yaitu Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif Keadilan Gender dalam Islam (tahun 2019). Buku ini, karena itu, tidak lain merupakan penegasan dari nilai dan prinsip yang aku peroleh dari Guru Ibu Sinta Nuriyah, hafizhahallah, semoga Allah Swt menjaganya selalu. Amin. []