Mubadalah.id – Benarkah perempuan kurang agama dan akalnya? Mungkin kita pernah mendengar dalam beberapa ceramah keagamaan yang menyebutkan, ada salah satu hadis shahih yang mengatakan bahwa perempuan itu merupakan makhluk yang kurang akal dan kurang agama. Redaksinya adalah sebagai berikut,
النساء ناقصات عقل و دين
Perempuan itu kurang akal dan agamanya.
Dengan kurang akal dan kurang agama yang ada pada diri perempuan, maka tidak sedikit bagi sebagian para penceramah menggunakan hadis tersebut sebagai alat untuk mendiskreditkan perempuan.
Misalnya, para perempuan sebaiknya di rumah, mengurus sumur, dapur dan kasur, jangan sekolah tinggi-tinggi, jangan shalat di masjid dan jangan aktif di ruang publik.
Akan tetapi, betulkah bahwa hadis yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw bahwa perempuan kurang akal dan kurang agama? Bukankah Nabi Saw sangat memuliakan dan menghormati perempuan? Lalu kenapa perempuan dipandang sebagai makhluk yang kurang akal dan kurang agama?
Teks hadis di atas, menurut Abu Syuqqah, adalah penggalan dari teks yang sangat panjang yang mengisahkan suasana akrab antara Nabi Muhammad Saw dengan para perempuan pada suatu hari raya.
Berikut teks hadits lengkap mengenai perempuan kurang akal dan kurang agama.
Abu Said al-Khudri Ra. berkata, “Rasulullah Saw keluar pada suatu hari raya, Idul Adha atau Idul Fitri, masuk ke masjid, lalu bertemu dengan para perempuan.
Beliau berkata kepada mereka, “Wahai para perempuan, ayo sedekah (agar kalian tidak masuk neraka), karena aku pernah diperlihatkan kalian banyak yang masuk neraka”.
Para perempuan bertanya, “Mengapa demikian (banyak dari kami yang masuk neraka)?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Karena kalian sering melaknat dan tidak berterima kasih atas kebaikan (dari suami, keluarga, atau saudara). Aku juga tidak melihat perempuan-perempuan (yang dianggap) kurang akal dan kurang agama, dari kalian, tetapi sanggup mengalahkan seorang laki-laki tangguh dan kokoh pendirian”.
Para perempuan bertanya, “Apa (yang membuat kami dianggap) kurang akal dan kurang agama, wahai Rasulullah?”
Rasulullah Saw. menjawab, “Bukankah kesaksian kamu separuh dari laki-laki? “Ya,” jawab mereka.
“Itulah (yang dimaksud) kurang akal. Bukankah ketika haid tidak shalat dan tidak puasa? Ya, jawab mereka. Itulah (yang dimaksud) kurang agama.” (Shahih Bukhari, no. 305).
Melalui hadis tersebut, seperti dikutip dari buku Qiraah Mubadalah karya Faqihuddin Abdul Kodir bahwa Abu Syuqqah menegaskan bahwa “naqishat din” bukan berarti secara esensial kalau perempuan kurang agama. Ini hanya pernyataan simbolik dari kurangnya aktivitas perempuan terkait shalat dan puasa, yang sering ditinggalkan pada saat menstruasi.
“Seperti persis dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw meninggalkan shalat dan puasa juga diperintahkan Islam. Adalah aneh, seseorang yang diperintah Islam untuk meninggalkan shalat dan puasa, pada saat yang sama dianggap kurang agama karena melaksanakan sesuatu yang diperintahkannya,” tulis Kang Faqih.
Menurut Kang Faqih, jika persoalannya pada pahala dari aktivitas ibadah, seperti ditegaskan juga oleh Abu Syuqqah, maka perempuan bisa melakukan banyak aktivitas lain untuk mengumpulkan pahala saat menstruasi. Baik aktivitas ibadah ritual, seperti dzikir dan baca doa, maupun ibadah sosial, seperti menolong orang lain.
“Jadi, teks hadits yang dikutip tersebut, sesungguhnya sama sekali tidak sedang menetapkan “akal dan agama perempuan yang bernilai separuh dari laki-laki”, apalagi menetapkan superioritas laki-laki atas perempuan dalam segala hal, hanya karena seseorang itu laki-laki atau perempuan. Sebab, Islam, seperti yang sudah ditegaskan, tidak mendasarkan pada jenis kelamin dan segala rupa tubuh untuk menilai dan memuliakan seseorang,” tegasnya. (Rul)