Mubadalah.id – Dalam banyak kebudayaan, perempuan lebih banyak dipandang dan dicitrakan sebagai ciptaan Tuhan yang rendah, bahkan acapkali disamakan dengan setan.
Pandangan dan citra ini muncul dalam banyak karya sastra narasi prosais maupun puitis. Dalam sebuah Syair Arab masa lalu, misalnya:
Inna al-nisa’ syayathin khuliqna lana
Na’udzu billah min syarr al-syayathin
Perempuan adalah setan- setan yang diciptakan untuk kami
Dan kami mohon lindungan Tuhan dari para setan-setan itu
Perempuan juga mereka gambarkan sebagai eksistensi pembawa sial. Kejatuhan Nabi Adam dari Surga akibat ulah perempuan, Hawa.
Dalam sebuah dialog antara Tuhan dan Adam, konon Tuhan bertanya, “Mengapa kamu jadi begitu (melangggar aturan Tuhan), Adam?”
Adam menjawab, “Ini gara-gara Hawa, wahai Tuhan.” Lalu, Tuhan mengatakan, “Jika begitu, biar Aku jadikan dia (Hawa) menstruasi saban bulan, Aku bikin dia bodoh, dan Aku bikin dia menderita ketika hamil dan melahirkan.”
Ini adalah cerita mitologi yang orang-orang kembangkan dalam kebudayaan umat manusia untuk menjustifikasi peradaban patriarkis yang menimpakan seluruh kesalahan laki-laki kepada perempuan.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan pernyataan al-Qur’an, bahwa seseorang tidak bisa membebankan kesalahannya kepada orang lain, dan masing-masing harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ (39) وَاَنَّ سَعْيَهٗ سَوْفَ يُرٰىۖ (40) ثُمَّ يُجْزٰىهُ الْجَزَاۤءَ الْاَوْفٰىۙ (41)
Artinya: “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang ia usahakan. Dan sungguh, usahanya tersebut kelak akan Tuhan perlihatkan kepadanya. Kemudian akan Tuhan balas dengan balasan yang paling sempurna.” (QS. al-Najm (53) : 39-41).
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰى ۗوَاِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ اِلٰى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَّلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۗ
Artinya: “Dan seseorang tidak memikul beban kesalahan orang lain. Dan jika yang membuat kesalahan itu memanggil orang lain untuk memikul (bertanggung jawab) kesalahannya maka, tidak akan dipikulkan sedikit pun, meskipun orang yang dipanggil itu adalah kerabatnya.” (QS. Fathir (35): 18).