Mubadalah.id – “Benarkah saya peduli difabel?” Pertanyaan ini kembali menggema saat saya membaca unggahan @magdaleneid di Instagram yang bertitimangsa 19 Februari 2025.
Magdalene mengunggah berita tentang Neil Gaiman, seorang penulis yang mencitrakan diri sebagai pria feminis. Karya Gaiman terbilang progresif sekaligus amat suportif dalam mengejawantahkan peranan perempuan berdaya.
Tak mengherankan bila karya-karya penulis kelahiran Inggris, enam puluh empat tahun silam ini mendapat sambutan positif dari pemerhati gender dan kalangan pro-feminis. Terlebih, sekali lagi, Gaiman adalah seorang pria.
Bukankah sulit—utamanya di negeri patriarkis semisal Indonesia—untuk mencari seorang pria yang mau berpihak kepada isu-isu feminis?
Sayangnya, harapan publik ternyata tak bersambut gayut. Gaiman berkhianat. Cerita bercitra pro-feminis yang ia bangun hanyalah selimut kamuflase. Gaiman yang sejati adalah seorang pelaku pelecehan seksual kepada kaum puan.
Hantu paradoks dan kamuflase
“Benarkah saya peduli difabel?” Pertanyaan ini masih menggantung serta menghantui. Setidaknya, sejak saya masih mengikuti kegiatan Akademi Mubadalah 2025 beberapa pekan lalu hingga saat tulisan ini saya susun.
Di dalam salah satu sesi, saya mengutarakan sebuah pertanyaan paradoksal kepada seorang rekan di sebelah, “Bukankah kita sedang mengeksploitasi para difabel?” Ia menjawab dengan jawaban yang belum membuat “hantu pertanyaan” itu lenyap.
Saat itu, saya berpikir bahwa fasilitas hotel, konsumsi, input pengetahuan, sekaligus kesempatan membangun reputasi sebagai figur yang friendly terhadap isu difabilitas punya sisi eksploitatifnya. Bukankah secara implisit kita sedang hidup dengan bermodalkan isu difabel?
Kembali kepada sosok Gaiman, ia merupakan contoh figur lawan berkemeja kawan yang lihai berkamuflase. Ia mengerudungi tubuhnya dengan luaran afirmatif, suportif, serta peduli. Secara produktif, Gaiman bahkan konsisten melahirkan produk-produk fiksi yang progresif.
Namun, once again, itu semua sekadar alat untuk menutupi sisi jahat dan ruang bejat yang berkelindan dalam ceruk dirinya. The real Gaiman is a woman predator!
Apakah murni keberpihakan kita?
“Benarkah saya peduli difabel?” sekali lagi saya ingin mengulang pertanyaan ini. Sebuah upaya kontemplatif sekaligus reflektif untuk menguji apakah murni keberpihakan kita kepada kawan difabel.
Mempertanyakan setiap hal yang kita yakini, sebagaimana Karlina Supelli ujarkan, barangkali bisa mengantarkan kita kepada keyakinan paripurna. Meski tentu saja, tak pernah ada yang sempurna.
Kasus paradoks dan kamuflase ala Neil Gaiman sebenarnya dapat terdeteksi dengan pengujian Jill Filipovic. Jill mengajukan empat pertanyaan untuk mengeksaminasi apakah seorang pria benar-benar berpihak pada kawan feminis atau semata bermanis-manis bibir saja.
Keempat pertanyaan tersebut yakni:
Pertama, apakah si pria bersedia membagi kuasa dengan perempuan kompeten?
Kedua, apakah si pria mendudukkan perempuan sebagai pijakan karier semata?
Ketiga, bagaimanakah respon si pria saat mendapat tantangan dari wanita? serta
Keempat, apakah si pria mengharap apresiasi dan konfesi atas keberpihakannya kepada perempuan?
Dalam upaya menguji kemurnian keberpihakan kita kepada kawan difabel, kita bisa memodifikasi formula evaluatif Jill Filipovic tersebut dengan mengganti terma ‘perempuan’ dengan ‘difabel’ dan kata sandang ‘si pria’ dengan ‘kita’.
Jawaban yang kita peroleh dari diri masing-masing dapat menjadi standar ukuran sejauh mana keberpihakan kita telah tumbuh. Tentu, kejujuran mesti bekerja secara natural, tanpa perlu pemaksaan yang ngayawara.
Lalu, berapa skor keberpihakan yang kita peroleh?
Keberpihakan yang miskin tajribah
Kesangsian akan keberpihakan saya terhadap kawan difabel di antaranya berangkat dari kemiskinan tajribah. Sebagai orang kebanyakan, saya tidak secara langsung mengalami apa yang kawan difabel rasakan.
Saya hanya bisa menduga, meraba-raba rasa, serta mencoba melakonkan laku yang kawan difabel tempuh. Semuanya bahkan berasal dari interpretasi monokultur ala saya sendiri. Jelas, ini bukan seperti yang mereka alami!
Karenanya, menjadi ideal bahwa kesadaran akan kemiskinan tajribah itu mendorong kita untuk bersama-sama memperlebar ruang bagi kawan difabel untuk berbagi tajribah. Sebagaimana Kiai Faqihuddin Abdul Kodir kerap tekankan, dalam masalah semacam ini, kita bisa berpijak pada QS Al Anbiya’: (7).
Dalam petikan ayat tersebut, Alquran mendorong seorang yang tidak berpengetahuan untuk mengorek pengetahuan kepada ahl adz-dzikr. Figur ahl adz-dzikr merupakan pribadi yang berpengetahuan teoritis sekaligus berpengalaman empiris.
Kita semua menyadari bahwa ahl adz-dzikr dalam isu seputar kawan difabel tak lain adalah kawan difabel itu sendiri. Publik jamak semestinya belajar dari mereka, bukan malah menghadirkan interpretasi judgemental yang (barangkali) malah resisten terhadap kebutuhan kawan difabel.
Jadi, benarkah kita peduli difabel? []