Mubadalah.id – Jika merujuk pernyataan ulama fikih, seperti al-Karabisi, al-Qaffal, dan juga Abu Mahasin al-Rayyani, menegaskan dalam konsep mahram bagi perempuan, maka logika hukum Islam yang harus selalu menjadi acuan.
Termasuk, pada kasus perjalanan perempuan yang ia lakukan secara sendirian, maka logikanya adalah perlindungan dan penyediaan keamanan bagi perempuan.
Kita bisa melihat contoh pada masa Nabi Muhammad Saw, para kabilah-kabilah Arab sering menangkap dan menjadikan perempuan sebagai tawanan, budak seks, diperkosa, dan dibunuh.
Apalagi pada saat terjadi perang secara terbuka, perempuan menjadi sasaran tindak kejahatan. Keadaan seperti ini lumrah terjadi. Pada konteks sosial seperti inilah, kewajiban mahram itu lahir.
Dengan logika hukum ini, bisa disimpulkan bahwa hukum mahram dalam perjalanan perempuan adalah konsep perlindungan dan pengamanan.
Diwajibkan mahram berupa kerabat dekat laki-laki untuk tugas perlindungan karena memiliki jalinan emosional yang cukup kuat, sehingga pengamanan dan perlindungan bisa diberikan.
Kemungkinan terjadinya sesuatu yang buruk terhadap perempuan juga bisa ia hindari dengan kehadiran kerabatnya atau mahramnya.
Namun, kemudian pertanyaan muncul, seperti yang Aisyah r.a ungkapkan, bagaimana dengan yang tidak memiliki mahram, mahramnya teramat jauh, atau karena alasan tertentu mahram tidak bisa melakukan perlindungan dan pengamanan?.
Apakah fungsi pengamanan hanya bisa ia lakukan oleh mahram saja, sehingga perempuan tetap ia larang untuk keluar bepergian jika tanpa mahram?.
Bagaimana dengan kasus-kasus kejahatan yang pelakunya justru kerabat perempuan?. Apakah berarti perempuan yang tidak memiliki mahram, atau mahramnya justru tidak mampu melindungi, bahkan mempecundangi, ia tidak boleh melakukan perjalanan?.
Hak Melakukan Aktivitas Positif
Jawabannya tentu tidak. Karena di dalam Islam, siapa pun, termasuk perempuan, memiliki hak untuk melakukan aktivitas positif, termasuk jika harus bepergian.
Apalagi kalau bepergian untuk menunaikan kewajiban, misalnya ibadah haji, mencari ilmu, mencari nafkah, dan lainnya.
Dalam hal ini masyarakat, Islam anjurkan untuk bersama-sama mewujudkan perlindungan dan pengamanan kepada seluruh warga.
Sungguh naif jika terjadi sesuatu kepada perempuan, kemudian ia yang tidak boleh keluar untuk melakukan aktivitas dengan alasan penjagaan.
Misalnya perempuan tidak boleh keluar bepergian tanpa mahram, karena kita khawatirkan akan menjadi korban kekerasan. Ini naif.
Namun, pelaku kekerasan, yang notebene laki-laki, tidak mereka larang untuk bepergian. Kita tidak pernah mendengar narasi: Laki-laki jangan keluar bepergian karena berpotensi untuk melakukan kejahatan terhadap perempuan. []