Mubadalah.id – Dua sahabat perempuan saya memutuskan untuk berpindah agama. Keputusan itu tidak mengagetkan, mengingat keduannya memiliki alasan untuk itu. Saya tidak berani bertanya lebih detil tentang alasan kepindahannya. Cukup mendengar kisahnya dengan takzim, sambil sesekali bertanya untuk mengonfirmasi agar bisa memperoleh penjelasan secara utuh.
Bagi saya, urusan agama adalah wilayah private. Keputusan seseorang untuk memilih agama tertentu juga sangat subyektif. Untuk itu, tidak pas rasanya untuk bertanya-tanya tentang alasan dibalik pilihan agama seseorang. Cukup dengan menghormati dan memakluminya saja.
Sepakat dengan pandangan Cak Nur, bahwa kebebasan memilih dan menentukan sendiri keyakinan pribadi, adalah hak yang paling asasi pada manusia. Agama dan keyakinan tidak boleh kita paksakan. Sebab pemaksaan itu akan menghilangkan nilai keyakinan itu sendiri (Madjid 1992: 564)
Dari cerita keduanya, saya berkesimpulan bahwa salah satu alasan yang melatarbelakangi keputusan kedua teman tersebut adalah karena pengalaman pahit yang mereka alami. Keduanya juga merasakan kekecewaan terhadap perilaku laki-laki di lingkungan hidupnya.
Lalu apa hubungannya dengan kepindahan keyakinan agama bagi keduanya? Mungkin saya salah menyimpulkan, tapi cerita ringkas berikut mungkin bisa menemukan korelasinya.
Pengalaman Perempuan
Perempuan pertama, adalah seorang ibu rumah tangga dengan 3 orang anak. Ia kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya. Akhirnya, perceraian menjadi pilihan terbaik untuk mengakhiri pertengakaran yang tak kunjung selesai.
Pasca bercerai, resiko ikutan yang sang istri hadapi sungguh berat. Ia dan kedua anaknya harus keluar dari rumah, memulai kehidupan baru tanpa pasangan. Dalam puncak kesulitan hidupnya, ada seorang duda yang tulus ingin menikahinnya. Mereka berbeda agama, namun sepakat menikah dengan keyakinan agama masing-masing.
Masalah baru muncul, ketika instansi negara tempat suami bekerja mensyaratkan adanya kesamaan agama yang dianut suami-istri para pegawainya. Atas kesepakatan bersama, sang istri memutuskan untuk mengganti status agama di dalam KTPnya. Meski begitu, sang suami tetap mendukung istri untuk melakukan semua ritual keagamaan yang ia anut dengan bebas.
Sang istri pernah bertanya perihal keputusan itu. Saya hanya bisa bertanya balik; ”Dalam beragama, Tuhan mempertimbangkan status keagamaan yang tercantum di dalam KTP atau tidak ya?” Saya sadar, tidak punya pengetahuan cukup untuk bisa memberikan pendapat keagamaan lebih jauh.
Kisah teman perempuan kedua hampir sama. Sejak belia, ia menjadi saksi atas tindak kekerasan bapak terhadap ibunya. Sangat memilukan. Relasi bapak-ibu-anak di rumahnya sangat buruk. Pertengkaran menjadi asupan sehari-hari.
Tidak sampai di situ, figur sang ayah yang selama ini ia anggap sebagai ”imam” keluarga, ternyata mengecewakan. Ayah yang ia banggakan itu memiliki dua istri simpanan sekaligus. Dia juga mengabaikan tanggung jawab ekonomi keluarga. Semua kebutuhan rumah tangga beralih menjadi tanggung jawab putri pertamanya.
Kepiluan hidup yang keduanya rasakan telah menyisakan trauma mendalam. Sosok sang ”imam” yang selama ini ia figurkan sebagai panutan, ternyata jauh panggang dari api. Di balik atribut keagamaan yang ia kenakan, di balik seruan tentang keluhuran budi pekerti yang kerap sang ayah suarakan, di balik segala aturan ketat atas nama perintah agama, yang kerap ayahnya tekankan kepada yang lain, ternyata dia sendiri tidak mampu menjadi tauladan. Bahkan untuk hal-hal kecil dalam keseharian. Perilakunya jauh dari kemuliaan nilai agama.
Misi dan Praktik Agama
Salah satu misi agama yang saya yakini adalah sebagai jalan mewujudkan kehidupan yang lebih maslahat, menuju keselamatan dunia dan akhirat. Itu adalah tataran nilai paling ideal. Dalam praktiknya, perilaku keagamaan itu telah mengalami perluasan. Dalam setiap aktivitas keagamaan yang para penganutnya lakukan ternyata memiliki implikasi sosial, ekonomi dan politik.
Secara sosial, seorang ahli ilmu agama yang mampu mempertahankan perilaku baik hingga bisa menjadi tauladan, akan lebih berpeluang mendapatkan penghormatan, pujian, dengan segala keistimewaan perlakuan dari orang lain.
Meski sama-sama ahli, dan berperilaku baik, seorang ahli ilmu metreologi dan geofisika, belum tentu akan mendapatkan perlakuan yang sama bobotnya dari lingkungan sekitarnya. Hal itu terjadi secara alamiah.
Secara ekonomi, dalam beberapa aktivitas keagamaan, juga mampu menimbulkan adanya transaksi keuangan dalam jumlah besar. Misalnya dari kegiatan penerimaan dan pengelolaan dana filantropi. Mulai dari dana hibah, zakat, sedekah hingga dana sepersepuluhan.
Dari aktivitas keagamaan seperti itu, tentu telah berimplikasi baik secara ekonomi kepada para pihak yang ada di lingkungan itu. Realitas ini bukan berarti mengabaikan adanya prinsip keikhlasan sebagai salah satu pilar penting agama.
Perkara Agama di Indonesia
Di Indonesia, perkara agama juga harus harus diurus oleh sebuah Kantor Kementerian Agama yang mengelola anggaran sebesar 69 triliun (anggaran 2023). Angka yang cukup besar untuk mengurus administrasi dan layanan keagamaan bagi warga Negara.
Bagi para pegawainya, mengurus urusan agama, juga akan berimplikasi pada kenaikan karir, jabatan, tunjangan, dan segala macam insentif serta fasilitas negara yang akan ia peroleh. Sekali lagi, ini bukan berarti mengabaikan adanya prinsip keikhlasan dalam menjalanan perintah agama lho ya.
Secara politik, penggunaan atribut keagamaan pada masa kampanye juga kerap terjadi. Simbol-simbol agama itu dipersepsi penting untuk kita kenakan, dan kita demonstrasikan secara terbuka. Para calon politisi kerap menggunakan atribut keagamaan demi memperoleh simpati dan dukungan dari para pemilih.
Mereka harus bisa meyakinkan publik bahwa dirinnya adalah sosok agamis yang layak terpilih. Ini salah satu bentuk perluasan dari praktik keagamaan oleh para politisi.
Agama tidak saja hadir dalam berbagai bentuk wajah yang sarat kebajikan. Ia juga telah berkembang menjadi entitas yang mampu mengakumulasi berbagai kepentingan para pemeluknya.
Ragam Agama
Sejak negara ini berdiri, warga negaranya sudah menganut agama yang beragam. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduknya ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain misalnya: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Thaoism terlarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh, seperti yang amanat Konstitusi (pasal 29 ayat 2).
Beragam agama yang ada di Indonesia umumnya disertai dengan Kitab Suci sebagai panduan hidup beragama. Kitab itu telah menjadi dasar dari setiap tindakan para pemeluknya. Ajaran agama akan berujung pada masalah etika, dan etika akan selalu berimbas pada semua bagian kehidupan seseorang. Kehadiran agama di bumi, akan kita yakini sepenuh hati sebagai petunjuk yang bermuara pada kebaikan dan kebajikan hidup.
Meski demikian, lumrah jika performa suatu agama, akan orang lain nilai di luar penganutnya. Penilaian tersebut tidak semata-mata hanya berdasarkan pada kualitas inti ajaran dan kesempurnaan kitab-kitabnya. Mereka juga akan mempertimbangkan kualitas penilaiannya berdasarkan pada perilaku keseharian para penganut agama tersebut.
Oleh karena itu, penilaian baik-buruk seseorang terhadap suatu agama, tidak bisa kita anggap sebagai sebuah pengingkaran pada sebuah agama. Meski agama kita akui sebagai wahyu yang langsung datang dari Tuhan. []