Mubadalah.id – Dari ‘Abdullah bin Qais, dari bapaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلْمُؤْمِنِ فِى الْجَنَّةِ لَخَيْمَةً مِنْ لُؤْلُؤَةٍ وَاحِدَةٍ مُجَوَّفَةٍ طُولُهَا سِتُّونَ مِيلاً لِلْمُؤْمِنِ فِيهَا أَهْلُونَ يَطُوفُ عَلَيْهِمُ الْمُؤْمِنُ فَلاَ يَرَى بَعْضُهُمْ بَعْضًا
“Bagi seorang mukmin di surga sebuah kemah dari sebuah mutiara yang berongga, panjangnya 60 mil, dan bagi seorang mukmin dalam kemah mutiara tersebut istri-istrinya, sang mukmin berkeliling mengitari mereka sehingga sebagian mereka tidak melihat sebagian yang lain.” (HR. Bukhari, no. 3243 dan Muslim, no. 7337)
Surga yang Penuh Dusta
“Jadi ibu-ibu tidak perlu risau sebab nanti di Surga ibu-ibu tidak akan pernah tahu kalau suami ibu punya hurrun iin (bidadari) atau punya istri yang lain, ibu-ibu akan merasa bahwa kita adalah satu-satunya istri dari suami kita. Padahal bapak-bapak punya banyak istri dari bidadari, tapi ibu-ibu tidak akan pernah mengetahui hal tersebut, ibu-ibu tidak akan pernah melihat, tidak akan mengetahui keberadaan istri yang lain.” Jelas seorang Uztad.
“Jadi, kita akan dibiarkan menunggu di suatu tempat sendirian, berpikir kita adalah satu-satunya, sementara suami kita bebas pergi pada banyak perempuan?” Balas temanku
Ya, begitulah kira-kira awal percakapan yang hampir saja membuat temanku menanggalkan keimananya. Dia sangat kecewa dengan konsep bidadari surga yang Pak Uztad jelaskan.
“Tidak, Aku tidak ingin masuk surga. Sudah dimadu, masih dibohongi pula”. Katanya dengan tatapan kosong. Aku pun bingung harus menjelaskan bagaimana.
Entah uztad itu yang salah memberikan pemahaman, atau temanku yang salah paham. Yang jelas, aku yakin bahwa tidak ada kata dusta dalam surga.
Sedikit Titik Terang
Aku pun menceritakan perihal kesalahpahaman di atas kepada temanku yang lain. Dia adalah seseorang yang tertarik dengan isu perempuan khususnya yang terkait dengan interpretasi teks agama. Dalam dialog kami, aku sedikit menemukan titik terang.
Dia menjelaskan padaku bahwa makna tidak melihat dalam hadis tersebut lebih kepada privasi bukan manipulasi seperti kata Pak Uztad. Ia memiliki argument yang sama denganku bahwa di surga tidak ada kata dusta.
Lebih jauh dia menjelaskan bahwa makna istri-istri dalam hadis tersebut adalah para bidadari surga. Para bidadari surga tentu paham dan tahu bahwa bukan hanya ia seorang yang melayani suaminya, karena tujuan bidadari tercipta memang sebagai pelayan surga serta jumlahya sangat banyak.
Makna “tidak melihat” lebih kepada terjaganya privasi mereka dengan pasanganya dari bidadari yang lain. Akan tetapi pada hakikatnya mereka tahu dan mereka sadar. Sedangkan untuk Istri dari dunia, tentu ia juga mengetahuinya dengan jelas. Bukankah sejak di dunia saja Al-Qur’an telah mengabarkanya dengan jelas? Jadi tidak ada yang dibohongi atau ditutup-tutupi di sini.
Mendengar Kegelisahan Seorang Istri
Sudah lama sekali pembahasan mengenai bidadari surga menjadi sangat sensitif dan seringkali menimbulkan polemik bagi sebagian perempuan. Banyak kegelisahan yang telah diungkapkan juga beberapa jawaban yang telah ditawarkan.
Kegelisahan paling umum adalah seperti yang temanku alami. Kegelisahan seorang Istri yang ingin selalu menjadi pasangan tunggal suaminya.
“Di dunia yang sementara saja aku tidak sudi dimadu, apalagi di surga yang kekal, Terlebih harus bersaing dengan para bidadari yang sangat banyak jumlahnya. Lagian siapa mereka? Aku yang sudah lelah melayaninya di dunia, sekarang malah mereka yang ada di sisisnya”
Merespon kegelisahan seorang istri seperti di atas, sebagian orang kerap memberikan pembelaan dengan jawaban klasik. Misal di surga tidak akan ada rasa ceburu bagi perempuan, menjadi ratu bidadari, mendapat kenikmatan lain (perhiasan dan sutra). Atau justru seperti komentar uztad di atas yang seolah-olah menunjukan adanya upaya manipulatif terhadap perempuan.
Sebagian yang lain justru memilih “cari aman” dengan meninggalkan pembahasan tersebut. Mereka berargumen. “Masuk surga saja belum tentu, kok malah menyoal kenikmatan surga?
Sayangnya, dua sikap di atas justru membuat permsalahan semakin rumit. Salah menanggapi, maka kegelisahan itu akan membawa bahaya besar untuk keimanan seseorang perempuan, seperti kasus temanku di atas.
Dia merasa kecewa dengan konsep bidadari surga dalam narasi teks agama yang dianggap banyak merugikan perempuan. Terlebih jika hanya kita baca dengan prespektif laki-laki seperti penjelasan Pak Uztad.
Dalam hal ini, hendaknya kita berlaku lebih bijak, salah satunya dengan ikut mengakomodasi sudut pandang perempuan dalam memahami narasi teks agama tentang bidadari surga. Atau paling tidak memaknai bidadari surga secara obyektif. Tidak melulu menjelaskan keuntungannya dari prespektif laki-laki. []